Pertolongan di Penghujung Malam


Patah arang mencari pertolongan atau bingung mencari tempat buat meminta pertolongan? Bukankah pertolongan itu tidak terbatas? Sayang banyak orang memagari diri dan jiwanya sehingga beranggapan bahwa pertolongan nyata hanya didapat dari sesama manusia. Jarang yang mencoba menggapai pertolongan di kelamnya malam saat milyaran pasang mata terlelap dalam mimpinya.

TAFSIR: Di Balik Keheningan Malam
Saat malam mulai merayap langit bertaburan cahaya nan indah. Di sisi lain bumi berselimtkan kabut dan gelap. Mengisyaratkan adanya dua fenomena besar yang saling berlawanan.


BONUS POSTER TATA CARA SHOLAT [Bisa di download di sini ]


AKIDAH: Rasulullah Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam Bisa Memberi Hidayah atau Tidak?
Setelah sekian lama manusia berkubang dalam lumpur jahiliyah. Allah subhanahu wa ta’ala mengutus seorang pria pilihan. Muhammad bin Abdullah dari suku Quraisy dari negeri Arab itu dijadikan-Nya Nabi dan Rasul terakhir. Ternyata tidak sedikit yang menentangnya.

AKIDAH: Mengenal Kiamat yang Semakin Dekat
Kiamat adalah salah satu masalah ghaib yang sudah semestinya diimani oleh kaum muslimin. Memang ada sebagian pihak yang berupaya menolaknya dengan mencari-cari arti baru. Namun itu bukanlah pendapat yang populer apalagi benar.

ARKANUL ISLAM: Zakat Fitri

Zakat secara umum adalah bagian dari rukun Islam. Selain dikenal adanya zakat mal yang ditujukan kepada orang-orang tertentu (kaya), ada juga zakat fithri yang cakupan pemberlakuannya lebih luas. Zakat ini terkait dengan peristiwa tahunan, yakni puasa di bulan Ramadhan. Untuk lebih menambah wawasan tentang seluk-beluk zakat fithri kami sajikan pembahasan tentangnya.

MANHAJ: Ahlussunnah itu Moderat

Bisa jadi ada yang salah paham tentang makna moderat. Sebagian pihak secara salam memaknai moderat sebagai bebas/liberal. Padahal liberal merupakan salah satu bentuk pemahaman ekstrim.

AKHLAK: Menahan Marah, Memberi Maaf
Perbuatan tidak menyenangkan begitu banyak berseliweran di dunia. Ditipu, difitnah, digunjing dan sederet kejahatan lisan maupun fisik. Menyikapinya dengan marah? Itu biasa terjadi, mampukah menahan marah dan memberi maaf?

RAMADHAN-SYAWWAL: Sambut Ramadhan
Segala puji milik Allåh subhanahu wa ta’ala, dzat yang mewajibkan puasa Råmadhån kepada para hamba-nya. shalawat dan salam semoga tercurah kepada qudwah hasanah, lelaki yang diturunkan kepadanya al-Quran, agar menjelaskan petunjuk kepada manusia. Råmadhån di depan mata. Semoga kita bisa menyapanya kembali dan menyambut dengan penuh sema­ngat dan perhatian. Tamu istimewa kita ini semoga mampu mendatangkan, dengan izin Allåh subhanahu wa ta’ala, segudang kebaikan. Dan semoga kita termasuk salah satu yang bisa mereguk kebaikannya.

FATWA: Fatawa Ramadhaniyah
Fatwa Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dalam kitab Haqiqatus Shiyam
Fatwa Syaikh Shalih bin Fauzan bin Abdillah bin Al-Fauzan dalam kitab Nurun Ala Darb.

KONSULTASI AGAMA: Bercumbu di Siang Ramadhan
Saya seorang pria yang sudah beristri. Banyak pekerjaan dilakukan di luar rumah. Ketika pulang atau libur saya optimalkan bercengkerama dengan istri. Ada beberapa hal yang ingin saya tanyakan terkait dengan batal tidaknya puasa. Dalam bulan Råmadhån kadang-kadang saya kebablasan. Pernah karena mencium istri tanpa terasa menjadi memeluknya. Apakah batal puasa saya karena perbuatan saya tersebut? Terus kalau seorang pria bersetubuh/menggauli istri tanpa berjima’ apakah juga membuat puasanya menjadi batal? Atas perhatian dan jawabannya diucapkan terima kasih.

MUAMALAH: Mengenal Jual Beli Islami
Jual beli banyak dilakukan oleh manusia, termasuk kaum muslimin. Kaum muslimin sebagai pemeluk agama yang sempurna mesti menyandarkan aturan transaksi pada syariat islam. Karena itu umat islam sudah semestinya mengenal jual beli yang diatur oleh syariat Islam.

MUAMALAH: Bentuk Transaksi yang Terlarang
Jual beli merupakan aktivitas yang hampir pasti terjadi pada manusia. Hal ini muncul karena sifat merasa saling membutuhkan. Seorang pedagang pasti membutuhkan pembeli, sebagaimana pembeli akan mencari-cari pedagang. Dalam Islam jual termasuk muamalah yang diatur dengan kaidah dan adabnya. Memang perdagangan termasuk masalah dunia, tetapi bukan berarti Islam melepas begitu saja memberi kebebasan sebebas-bebasnya. Karena menyangkut urusan orang banyak wajar sekali Islam memberikan rambu-rambu.

SIYASAH: Bermukim di Negeri Kafir
Banyak yang merasa bangga bisa bepergian melancong ke negeri orang. Ada yang suka berbelanja pula ke negeri seberang. Tidak sedikit pula yang kemudian menetap dalam waktu yang lama. Ironisnya negara tujuan tersebut adalah negeri kafir, sementara yang melakukan tidak sedikit yang beragama Islam. Bagaimana hukum tinggal di negeri kafir? Fatwa berikut mungkin bisa jadi patokan bagi kita dalam mewujudkan politik luar negeri secara personal.

QAUL 4 IMAM: Pokok Sunnah menurut Imam Ahmad
Semakin berkembangnya dakwah sunah semakin banyak pula tantangannya. Apalagi agama-agama batil semakin terbuka kedoknya di mata masyarakat ilmiah. Kemudian dimunculkanlah gerakan yang bersifat merusak Islam. Gerakan itu sebenarnya berpangkal dari rasa hasad para ahli kitab dan kaum musyrikin. Berbagai ge­rakan merusak pun diciptakan. Beberapa yang baru saja muncul, dengan format lama, adalah gerakan yang menamakan Al-Qiyadah al-Islamiyah. Gerakan yang bekerja secara rahasia ini sangat rapi dalam melakukan perusakan Islam.

MUFTI KITA: Abdullah bin Salam, Sahabat Nabi dari Bani Israil
Namanya adalah Abdullåh bin Salam ibnul Harits. Dengan kun-yah Abul Harits al-Isråili, sekutu kaum Anshår. Muhamad bin Sa`ad menuturkan, sebelumnya Abdullåh bernama al-Hushain. Oleh Råsulullåh shallallahu ‘alaihi wasallam kemudian diganti menjadi Abdullåh. Abdullåh bin Salam termasuk ulama di kalangan Yahudi, masih keturunan Nabi Yusuf bin Ya`qub ‘alaihima salam.

KESEHATAN & PENGOBATAN
Tetap Bugar di Bulan Ramadhan
Resep Madu Herbal

CELAH LELAKI: Terjerat Perilaku Gay
Beberapa waktu yang lalu muncul buku gelap yang mendukung perilaku kaum komoseksual, gay dan lesbian. Parahnya buku itu keluar dari seorang aktivis di sebuah kampus yang dikenal sebagai institusi keagamaan, UIN.

NUANSA WANITA: Agar Wanita Lajang Tetap Optimis
Bukan hanya lelaki yang memandang indah sebuah pernikahan. Seorang wanita juga punya rasa yang sama. Semuanya merindu untuk mendapat teman hidup mengarungi samudra kehidupan. Hanya saja tidak semua keinginan dan cita-cita bisa berwujud nyata.

JELANG NIKAH: Menyediakan Mahar Secara Haram
Betapa kebahagiaan orang yang anak menikah. Berbagai kesedihan seakan tertutup oleh berbagai harapan dan impian yang indah. Tak heran banyak yang berlomba untuk meraihnya. Tapi haruskah dengan menghalalkan segala cara?

RUMAH TANGGAKU: Istri Memukul, Haruskah Dibalas?
Ustadz saya seorang suami. Dalam berumah tangga kadang saya cecok dengan istri. Begitu cekcok, istri biasanya melempar apa yangada didekatnya. Kalau tidak ada barang tangannya pun dipukulkan kepada saya. Apakah saya boleh membalas pukulannya? Terima kasih atas jawabannya.

Salam itu Kini Semakin Mahal


Wajah ditekuk. Mulut seakan terkunci, terasa begitu berat menerbitkan secuil senyum pun. Mata lebih berat memandang hamparan bumi di depannya, daripada memandang saudaranya yang berpapasan. Tangan pun menjadi tidak sambung untuk sekadar bersalaman pun. Tidak berlebihan jika gambaran tersebut mewakili sikap sebagian kaum muslimin, kalau tidak boleh dikatakan kebanyakan, saat berpapasan dan bertemu dengan saudaranya seiman. Cuek dan tak mau tahu, seakan yang ada hanya dirinya sendiri…kecuali orang lain itu diharapkan bisa memberi keuntungan, telah memberi keuntungan, atau selalu akan memberikan keuntungan. Begitu terasa bahwa salam kini semakin mahal.

AKIDAH: Tempat Terlarang untuk Shalat
Tempat merupakan bagian penting dalam shalat. Sah atau tidaknya shalat juga terkait dengan tempat. Bahkan termasuk syarat shalat. Hal ini sangat erat kaitannya dengan usaha menjaga ketauhidan. Tempat-tempat mana saja yang boleh dan tidak boleh untuk shalat?

AKIDAH: Mencela Waktu Termasuk Dosa
Hari ini memang hari yang sial…! Betapa banyak yang sering mengungkapkan keluhan dengan kalimat semacam ini. Kegagalan, kekecewaan, kerugian ditimpakan sebabnya pada hari dan waktu. Muncullah keyakinan adanya hari baik dan hari jelek. Keyakinan tersebut berangkat dari kesalahan akidah. Perilaku semacam ini sudah terjadi sejak dahulu. Kebiasaan orang-orang bodoh di zaman jahiliyah/kebodohan kini banyak ditiru oleh orang-orang yang lemah imannya, orang-orang yang bodoh dan tidak tahu hukum-hukum agama. Padahal sesungguhnya, waktu tidak dapat memberikan suatu manfaat atau menimpakan suatu kemudharatan (bahaya). Akan tetapi waktu itu diatur dan dikendalikan. Dan perubahannya menjadi hari, pekan, bulan, dan tahun merupakan ketentuan dari Allåh Yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana. Dengan demikian mencela waktu sama saja dengan mencela Yang Mengaturnya.

TAFSIR: Bacalah Al-Quran dengan Tartil
Dalam al-Quran Allåh Ta’ala memerintahkan agar al-Quran sebagai firman-Nya dibaca dengan tartil. Bagaimanakah tartil itu? Bacalah al-Quran itu dengan tartil, adalah makna dari surat al-Muzammil ayat 4.  “…dan bacalah al-Quran itu dengan tartil.”

ARKANUL ISLAM: Meluruskan dan Merapatkan Shaf
Shalat berjamaah merupakan aktivitas yangsudah tidak asing bagi umat Islam. Meski sedikit yang melakukannya, tetap merupakan amal yang utama. Sayang kadang dalam berjamaah, keadaan barisan shaf kurang baik. Tidak lurus sehingga terlihat ada yang maju ada pula yang terlalu ke belakang. Masih juga renggang. Meluruskan dan merapatkan shaf (barisan) dalam shalat berjamaah sangat diperintahkan, sebagaimana di dalam sabda Nabi  shallallahu ‘alaihi wasallam, Artinya, “Luruskan shafmu, karena sesungguhnya meluruskan shaf itu merupakan bagian dari kesempurnaan shalat”. (Muttafaq ‘Alaih)

MANHAJ: Beberapa Prinsip Ahlussunnah
Kini semua mengklaim sebagai pengusung metode ahlussunnah waljamaah. Khawarij kini pun berdandan sedemikian rupa sehingga terlihat sebagai orang yang berpegang pada kaidah ahlussunnah. Demikian pula murjiah. Beredar pula isu yang dihembuskan oleh para pemuja bid’ah dan syirik di kuburan, bahkan mereka merasa perlu untuk menamakan diri sebagai Salafy Indonesia. Salafy yang bercorak lokal Indonesia, lebih tepatnya Jawa atau beraroma sisa-sia peninggalan animisme/Hindu. Kelompok ini menuduh secara membabi buta terhadap Ibnu Taimiyah dan yang sepaham dengannya sebagai salafi palsu. Mereka juga mempertanyakan keahlussunnahan Ibnu Taimiyah.

AKHLAK: Celah Setan Menggoda Ahli Ilmu
Di antara manusia ada yang memiliki hasrat dan semangat yang tinggi, sehingga mereka bisa mendalami berbagai cabang ilmu syariat, berupa ilmu al-Quran, hadits, fikih, dan sastra. Lalu Iblis mendatangi mereka dengan talbis-nya yang lembut, sambil membisikkan kesombongan kepada mereka, karena mereka bisa mendalami berbagai macam ilmu dan bisa mengulurkan manfaat kepada orang lain. Di antara mereka ada yang tidak pernah bosan menggali ilmu dan merasakan kenikmatan dalam penggalian ini, yang tentu saja karena bisikan Iblis. Iblis bertanya kepadanya, Sampai kapan engkau merasa letih melakukan semua ini? Tenangkan badanmu dalam memikul beban ini dan lapangkan hatimu dalam menikmati ilmu. Karena jika engkau melakukan kesalahan, maka ilmu dapat membebaskan dirimu dari hukuman. Lalu Iblis membisikinya tentang kelebihan yang dimiliki para ulama.

SIYASAH: Politik itu Ada Saatnya
Ada saja umat yang berusaha menghapuskan unsur politik dari ranah Islam. Yang diinginkannya adalah bahwa politik itu tidak ada kaitannya sama sekali dengan gama, begitu pula agama tidak ada kaitannya dengan politik. Sementara yang lain mencampuradukkan politik Yunani dengan politik Islam. Pokoknya politik yang dilabeli islami menjadi politik Islam. Dari itu muncullah istilah demokrasi islam, kepitalisme islam, sosialisme islam dan lain-lain yang kemudian ditempeli dengan kata islami. Padahal nama tidak akan mengubah sebuah hakekat.

FATWA:
Termasuk suap atau bukan?
Menggunakan Perangkat Playstation
Bahaya Dakwah Pemuda Kepada Perempuan
Sekolah Dengan Lelaki dan Wanita Campur Baur
Perempuan Mengobati Pasien Pria
Ucapan Råhimahullåh Untuk Yang Telah Wafat

MUAMALAH: Transaksi di Bank Konvensional
Haramnya riba sudah sangat jelas dan gamblang disampaikan oleh Allah dalam kitab-Nya Al Qur’an dan Rasul-Nya Muhammad n . Dalam sebuah hadits shahih, Rasulullah n melaknat beberapa golongan yang terlibat dalam urusan riba. Yaitu orang yang makan riba, yang memberikannya serta penulisnya. Lalu bagaimana kaitannya dengan bank konvensional sebagai salah satu lembaga yang berhubungan erat dengan masalah riba?

MUAMALAH: Hak Khiyar dalam Jual Beli
Jual beli yang diatur oleh Islam merupakan sebuah konsep syariat untuk kebaikan manusia. Tidak bisa dipungkiri transaksi yang berkaitan dengan kebutuhan manusia sangat potensial menimbulkan perselisihan. Perselisihan itu bisa disebabkan oleh faktor, salah satunya, kekecewaan. Kecewa karena barangnya tidak seperti yang dibayangkan. Kecewa karena barangnya tidak seindah yang digambarkan penjual. Dan kecewa karena berbagai sebab lain. Karena itulah dalam konsep perdagangan Islam dikenal adanya usaha untuk menekan hal negatif ini. Disediakanlah hak khiyar (memilih). Allah syariatkan dalam jual beli berupa hak memilih bagi orang yang bertransaksi, supaya dia puas dalam urusannya, bisa melihat maslahat dan madharat dalam akad tersebut. Dengan begitu bisa didapatkan harapan sesuai pilihannya atau membatalkan transaksi kalau memang tidak mendapat maslahat.

MUFTI KITA: Uwais al-Qarni Pemuda Shaleh yang Rendah Hati
Pada zaman Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam, ada seorang pemuda bermata biru, rambutnya merah, pundaknya lapang panjang, berpenampilan cukup tampan, kulitnya kemerah-merahan, dagunya menempel di dada selalu melihat pada tempat sujudnya, tangan kanannya menumpang pada tangan kirinya, ahli membaca al-Quran dan menangis, pakaiannya hanya dua helai sudah kusut yang satu untuk penutup badan dan yang satunya untuk selendangan, tiada orang yang menghiraukan, tak dikenal oleh penduduk bumi akan tetapi sangat terkenal di langit.

KONSULTASI AGAMA: Menikah Ketika Hamil
Akhir-akhir ini banyak pernikahan yang dilakukan ketika wanita sudah dalam kondisi hamil. Karena itu tidak sedikit bayi yang sudah lahir dari perut ibunya sementara usia pernikahan orang tuanya belum mencapai setengah tahun. Sebenarnya apa hukum menikah dalam kondisi hamil? Sah atau tidak? Saya pernah dengar hal tersebut tidak sah. Kalau betul bagaimana dengan pernikahan tersebut? Harus batal dengan cerai kemudian menikah lagi atau bagaimana?

KONSULTASI AGAMA: Suami Terjerat Jaring LDII
Ustadz perkenalkan saya adalah seorang istri dari seorang pria yang menjadi anggota kelompok LDII. Dulu pun saya termasuk anggota. Kini saya bingung dengan posisi saya, karena dalam keyakinan LDII kelompok di luarnya adalah kafir. Dalam kesendirian saya di tengah perkampungan komunitas LDII saya khawatir akan terseret lagi. Untuk itu saya mohon advisnya. Jazakållåhu khåirån.

KESEHATAN & PENGOBATAN: Wahai Muslimah…Bahaya Kosmetik Mengancammu!
Produk kosmetik dan alat kecantikan kini semakin membanjiri dunia wanita. Hal ini terjadi setelah pihak produsen bisa menguasai perasaan wanita dengan menanamkan kesan bahwa wanita itu belum cantik sehingga harus dipercantik. Ketika seorang wanita, dari usia pra remaja hingga usia tua, telah termakan isu tersebut maka potensi pasar akan terbuka begitu nyata. Wanita mana tak ingin tampil cantik di hadapan suaminya? Bahkan kekeliruan besar pun telah membudaya bahwa kecantikan itu untuk dipamerkan kepada setiap orang yang ditemuinya.

CELAH LELAKI: Meremehkan Shalat Berjamaah
Dalam kondisi perang, saat shalat Allah tetap memerintahkan kaum muslimin untuk melaksanakannya secara berjamaah dangan saling bergantian, antara yang sebagian berjaga menghadapi musuh dengan sebagian yang shalat. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam pernah mengancam akan membakar rumah orang yang tidak hadir shalat berjamaah di masjid. Beliau juga tidak memberi dispensasi bagi salah seorang shahabat yang minta izin untuk tidak ikut berjamaah karena dia buta dan tidak ada yang menuntunnya ke masjid. Selama adzan masih terdengar olehnya, dia tetap harus ke masjid untuk shalat.

NUANSA WANITA: Suka Melaknat Anak
“Dasar bandel! Nakal!” Maki seorang ibu kepada putranya yang tidak menuruti perintahnya. Kata-kata umpatan atau makian, kadang memang begitu ringan keluar dari mulut seorang wanita pada anaknya. Mereka tidak sadar, bahwa ucapan seorang bunda, bisa menjadi doa bagi anak-anaknya.

JELANG NIKAH: Berlebihan Menetapkan Mahar
Pernah ada kasus, seorang ikhwan terpaksa bercerai dengan istrinya. Cukup lama dia menduda, sambil mengurus kedua putranya yang masih kecil. Sebenarnya, dia tak ingin berlama-lama dengan kondisi seperti ini. Sebenarnya, banyak teman yang menawarkan akhwat untuk jadi istrinya. Di sini terjadi dilema, di satu sisi dia ingin segera dapat pengganti istrinya, di sisi lain dia tak ingin ceroboh, tergesa-gesa dan asal terima. Dia harus lebih selektif dan berhati-hati, agar kisah pahit itu jangan sampai terulang lagi. Apalagi ia ingin istrinya kelak juga bisa menjadi ibu yang baik bagi kedua anaknya.
Setelah beberapa lama, bertemu juga dia dengan akhwat yang sesuai dengan kriterianya, sekaligus bisa menerima keadaannya. Yang jadi masalah, akhwat itu berasal dari komunitas berada, yang punya tradisi “wah” dalam menentukan mahar bagi para putrinya. Karena ekonominya yang pas-pasan dan harus mengumpulkan “modal”, sang ikhwan pun harus bersabar lebih lama untuk bisa mempersuntingnya. Ah, kenapa yang harusnya mudah, selalu saja dibikin susah.

RUMAH TANGGAKU: Bila Suami Kurang Perhatian
Bagi wanita, memiliki suami shalih adalah dambaan. Lebih-lebih  sudah shalih, masih ditambah romantis, penyayang, penyabar, ringan tangan dan perhatian, tentu makin diimpikan, karena sangat langka dan semakin susah didapatkan. Ada yang beruntung mendapat suami penyabar, sayang kurang perhatian. Ada yang suaminya ahli ilmu dan rajin ibadah, sayang pemarah dan kurang sabaran, dan seribu satu macam kasus lainnya. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam pernah bersabda, “Sebaik-baik lelaki adalah yang paling baik terhadap keluarganya….” Andai saja setiap suami mau lebih menghayati, dan selanjutnya mengamalkan pesan penting yang terkandung di dalam hadits ini, tentu mereka akan lebih hati-hati dalam bersikap dan berbuat terhadap istri serta anak-anaknya.

Tetesan Air mata surga


Isak tangis para sahabat yang tengah duduk mengelilingi Råsulullåh shallallahu ‘alaihi wasallam mengherankan seorang pemuda yang ikut duduk di majelis tersebut. Mereka semua menangis terisak, bahkan Råsulullåh shallallahu ‘alaihi wasallam sendiri menyampaikan nasehatnya dengan suara parau. Sedang si pemuda, tak setetes pun air mata keluar dari kelopak matanya. Ia menanyakan kejanggalan dirinya kepada Råsulullåh shallallahu ‘alaihi wasallam. Beliau kemudian menyebutkan penyebabnya yaitu kerasnya hati. Diuraikan juga berbagai penyebab yang saling bertaut hingga mengeraskan hatinya. Semuanya bercabang dari cinta dunia dan takut mati.

TAFSIR: Derai Air Mata Orang Bertakwa
Menangis di saat mendengar ayat-ayat Allåh dan nase­hat-nasehat tentang akhirat adalah merupakan bukti dalamnya iman, merupakan bukti manfaatnya ilmu dan merupakan kebiasaan para Nabi dan orang-orang shålih selagi di dunia. Sementara orang-orang yang ingkar dan lemah iman justru selalu bergembira ria serta banyak tawa dan canda.

AKIDAH: Asy’ariyah bukan Ahlus Sunnah
Asy’ariyyah adalah nama sebuah kelompok atau firqah ahli kalam yang menisbatkan diri kepada Abul Hasan al-Asy’ari ketika menyatakan diri keluar dari kelompok Mu’tazilah. Asy’ariyyah menjadikan hujjah-hujjah dan dalil-dalil akal serta ilmu kalam untuk membantah kelompok Mu’tazilah, kaum filosof dan kelompok lain yang menyelisihinya. Bantahan itu dilakukan ketika menetapkan hakikat agama dan akidah Islam, mengikuti pemikiran Ibnu Kullab. Mereka mengklaim diri mereka sebagai Ahlus Sunnah. Di negara kita sering disalahpahamkan bahwa metode Asy’ariyah, sebagaimana Maturidiyah, adalah sama dengan Ahlusunnah wal Jama’ah.

AKIDAH: Bulan Suro Bulan Sial?
Bulan Muharram merupakan bulan pertama dalam perhitungan tahun Islam yang sering dikenal dengan tahun Hijriyah. Di Jawa khususnya, Indonesia pada umumnya, bulan Muharram dikenal dengan istilah Suro. Bagi sebagian pihak bulan Suro mempunyai nilai tersendiri. Kalau bagi umat Islam bulan Muharram mengandung hari yang disunahkan untuk melakukan puasa sunah. Di hari itu pula Musa diselamatkan dari kejaran Firaun. Sementara itu kaum penganut agama Syi’ah Rafidhah yang menganggap Muharram sebagai bulan kesedihan dan kesialan, demikian pula sebagian orang di Indonesia dalam memandang bulan Suro.

ARKANUL ISLAM: Berkurban Sesuai Sunnah
Setelah berpisah dengan ‘Idul Fithri yang baru lalu, sebentar lagi kita akan kembali dipertemukan dengan hari raya ‘Idul Adha. Itulah dua hari raya, tidak lebih, yang dimiliki kaum muslimin. Jika ‘Idul Fithri terkait dan tergantung pada rukun ibadah shaum Råmadhån, maka ‘Idul Adha terkait dan tergantung pada rukun ibadah haji di Baitullah di tanah suci. Salah satu hikmah yang bisa dipetik di balik pengaitan kedua ‘id tersebut dengan kedua rukun Islam itu adalah agar penyambutan dan peringatan kedua hari kegembiraan tersebut tetap dalam nuansa ibadah yang penuh kekhusyukan dan didasari oleh komitmen syar’i yang tinggi.

MANHAJ: Bantah Ahli Bid’ah Tidak Berarti Pro Kaum Kufar
Sebagian pihak sering memunculkan kesan bahwa membantah kejelekan bid’ah dan perilakunya merupakan kesalahan dakwah. Lebih dari itu ada yang menghembuskan isu bahwa langkah semacam itu menunjukkan sebagai agen Mosad, kaki tangan Yahudi dan tuduhan semacamnya.

AKHLAK: Tali Kekeluargaan Sambunglah Jangan Diputus
Hubungan keluarga adalah sesuatu yang sangat dihormati oleh syariat Islam. Islam telah menetapkan segala sesuatu yang dapat menguatkan dan mengeratkan ikatan hubungan di antara para pemeluknya. Pada skala keluarga, misalnya, kita dapati Islam menyerukan ikatan tersebut dalam suatu bentuk yang merealisasikan keselarasan dan kasih sayang, mencegah kerusakan, menjadi penengah dan jalan keluar dari perselisihan yang terjadi. Islam pula menyeru dan mengajarkan bagaimana menjaga hak-hak kerabat. Islam mengajarkan bagaimana menunaikan hak sebaik mungkin, dengan cara menjalin hubungan, berbuat baik, melakukan kunjungan dan memuliakan.

SIYASAH: Pemimpin Mesti Berhiaskan Akhlak
Tujuan dan tugas kepemimpinan dalam Islam adalah menegakkan agama Allåh. Kalimat Allåh adalah kalimat yang paling tinggi, dan ibadah adalah hak Allåh semata. Allåh tidak menciptakan makhluk-Nya melainkan agar beribadah kepada-Nya. Untuk itulah, diturunkan kitab dan diutus para rasul. Råsulullåh shallallahu ‘alaihi wasallam, para sahabatnya dan orang-orang yang beriman berjihad fisabilillah pun untuk hal itu.

KHUTBAH IDUL ADHA: Mari Hanya Tunduk Kepada Allah
Kunci kesempurnaan Khålilullah (Kekasih Allåh Ta’ala) Ibråhim Alaihissalam dalam ketundukan kepada Rabbnya adalah rasa tsiqah (yakin) beliau kepada segala perintah-perintahNya bahwa di dalamnya pasti terkandung maslahat nampak atau tidak, saat ini atau di kemudian hari. Rasa tsiqah ini berwujud iman dan yakin yang senantiasa memenuhi relung hati, lisan dan perbuatan beliau sehingga kalimat yang keluar di saat datang perintah adalah sebagaimana firman Allåh Ta’ala dalam surat al-Baqåråh ayat 131: “Ketika Tuhannya berfirman kepadanya: “Tunduk patuhlah!” Ibrahim menjawab: “Aku tunduk patuh kepada Tuhan semesta alam.”

FATWA: Kirim Hewan Kurban
Seiring dengan semakin dekatnya hari raya ke dua kaum muslimin, yaitu ’Idul Kurban atau ’Idul Adha, perbincangan dan pembahasan seputar permasalahan hukum hewan kurban menjadi ramai. Banyak kaum muslimin yang bersiap-siap menyisihkan sebagian hartanya untuk beribadah kepada Allåh ta’ala dalam bentuk menyembelih kurban. Banyak pula didapati kaum muslimin yang mempersiapkan dagangan sapi atau kambing yang dipasarkan di pinggir-pinggir jalan atau di pasar-pasar hewan, suatu pemandangan tahunan yang dapat kita saksikan di mana-mana.

FATWA: Tawasul & Berkurban untuk Selain Allah
Bertaqarrub (mendekatkan diri kepada Allåh) dengan menyembelih kambing di kuburan para wali yang shalih masih dijumpai dalam keluargaku. Aku telah melarangnya, namun mereka tambah menentang. Aku katakan kepada mereka, ”Sesungguhnya perbuatan tersebut termasuk menyekutukan Allåh!” Mereka malah menjawab, ”Kami telah beribadah kepada Allåh dengan sebenar-benarnya ibadah, tetapi apa dosa kami bila kami berziarah ke (makam) wali-wali-Nya, kemudian kami berdoa kepada Allåh…

MUAMALAH: Sistem Ekonomi Islam
Di Indonesia mungkin belum terlalu kuat kepercayaan kepada konsep ini. Pada dekade 70-an baru mulailah muncul kembali sosok Ekonomi Islam dan Lembaga Keuangan Islam dalam tatanan dunia Internasional, kajian Ilmiah tentang Sistem Ekonomi Islam marak menjadi bahan diskusi kalangan akademisi di berbagai Universitas Islam, hasil kajian tersebut dalam tataran aplikatif mulai menuai hasilnya dengan didirikannya Islamic Development Bank (IDB) di Jeddah tahun 1975 yang diikuti dengan berdirinya bank-bank Islam di kawasan Timur Tengah. Hal ini bahkan banyak menggiring asumsi masyarakat bahwa Sistem Ekonomi Islam adalah Bank Islam, padahal Sistem Ekonomi Islam mencakup ekonomi makro, mikro, kebijakan moneter, kebijakan fiskal, Fublic Finance, model pembangunan ekonomi dan instrumen-instrumennya.

MUAMALAH: Urgensi Kerja Menurut Islam
Islam sangat memperhatikan kerja dan menganggapnya sebagai sesuatu yang paling esensial dalam kehidupan masyarakat. Mengingat, kerja mempunyai peranan besar dalam membangun Umat Islam, dan untuk mewujudkan kebangkitan umat Islam di antara umat dan masyarakat lainnya. Kerja (mencari nafkah) dalam Islam hukumnya fardhu ‘ain bagi setiap muslim, karena untuk melaksanakan kewajiban Islam harus didukung oleh kemampuan jiwa dan raga. Kemampuan ini tidak bisa diperoleh kecuali dengan makanan dan nafkah. Sudah menjadi maklum, bahwa sesuatu yang menjadi penopang untuk melaksanakan kewajiban, maka sesuatu itu hukumnya menjadi wajib, dimana pelakunya akan diberi pahala jika melaksanakannya, dan akan berdosa jika meninggalkannya, sebagaimana ketetapan para ahli fiqih.

MUFTI KITA: Abu Darda, Seorang Imam Panutan
Beliau termasuk salah seorang imam yang menjadi panutan umat ini, salah seorang sahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam yang bijaksana, orang yang langsung belajar al-Quran kepada Råsulullåh shallallahu ‘alaihi wasallam dan tidak belajar kepada selainnya, termasuk pengum­pul al-Quran pasa masa hidup Rå­sulullåh shallallahu ‘alaihi wasallam, dan penghulu orang-orang fakir miskin dan sekaligus sebagai qådhi di kota Damaskus pada masa khalifah Utsman bin Affan Radhiyallahu ‘anhu.

KONSULTASI AGAMA: Pria Beristri Mengaku Belum Beristri
Seseorang yang sudah beristri dan masih berstatus suami istri ditanya seseorang apakah sudah beristri atau belum. Pria tersebut menjawab belum beristri. Apakah ucapannya tersebut otomatis berlaku talak bagi istrinya?
Pernyataan seorang suami kepada istrinya, misalnya, ’Engkau cantik seperti ibuku!’ termasuk juga perkataan yang bisa menyebabkan terjadinya jatuh talak secara otomatis?

KONSULTASI AGAMA: Mau Rujuk Dihalangi Orang Tua
Karena sesuatu hal sepasang suami istri sempat melakukan cerai pertama kali. Setelah berjalan beberapa waktu ada kesepakatan keduanya melakukan rujuk bersatu kembali dalam rumah tangganya semula. Ternyata rencana itu tidak bisa berjalan mulus akibat ada ganjalan dari salah satu pihak. Dalam hal ini orang tua pria tersebut berusaha menghalangi proses rujuk anaknya tersebut dengan istri yang telah diceraikannya tersebut. Bagaimana menyikapi masalah ini?

QAUL 4 IMAM: Imam yang Empat adalah Satu, Mengapa Kita Berselisih
Imam, pemimpin panutan, sebenarnya sangatlah banyak. Sejak zaman para sahabat hingga kini jumlahnya tak terhitung dengan jari. Namun adalah suatu kenyataan bahwa imam yang begitu masyhur di kalangan umat, tidak hanya di Indonesia, adalah imam yang empat. Tesebutlah nama Imam Abu Hanifah, Imam Malik, Imam Syafi’i, dan Imam Ahmad yang sering menjadi rujukan oleh kebanyakan kaum muslimin. Meski banyak yang mengenalnya dan mengaku sebagai orang yang mengikutinya, ternyata tidak banyak yang mengetahui pendapatnya secara valid. Kebanyakan orang memang hanya mendengar dari orang lain atau tulisan orang lain.

KESEHATAN & PENGOBATAN: Penelitian Tentang Minyak Zaitun
Minyak zaitun sudah tidak asing lagi sebagai salah satu bahan thibbun nabawi. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam menyampaikan nasihat agar mengkonsumsi minyak zaitun dan menjadikannya minyak oles. Untuk pertama kalinya dalam sejarah, pada tanggal 21 April 1997 diselenggerakan pertemuan di Roma, yang dihadiri 16 pakar medis paling terkenal di dunia. Mereka mengkupas, mengkaji dan mengeluarkan satu keputusan penting tentang minyak zaitun dan makanan rumput laut putih.

CELAH LELAKI: Lelaki adalah Milik Orang Tua
Seorang wanita, apabila sudah menikah, maka ia menjadi “milik” suaminya. Ia harus lebih mengutamakan taat pada suaminya, daripada kepada orangtuanya. Berbeda dengan lelaki. Ia tetaplah “milik” orangtuanya, dan harus mengutamakan untuk taat kepada orangtuanya, terutama ibunya.
Suatu saat seseorang datang kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam meminta izin untuk berjihad. Kemudian Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bertanya, “Apakah bapak ibumu masih hidup?” Orang itu menjawab, “Ya.” Maka Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Hendaklah kamu berbakti kepada keduanya.” (Riwayat Bukhari dan Muslim)

NUANSA WANITA: Meski Boleh, Jangan Sering Dilakukan
Ziarah kubur adalah sunah. Selain mendoakan keselamatan kepada penghuninya, dengan ziarah seseorang akan teringat dengan kematian dan akhirat. Semua ulama sepakat bahwa ziarah adalah sunah. Itu hukum bagi kaum pria. Sementara hukum ziarah kubur bagi kaum wanita menjadi perselisihan di kalangan ulama. Ada yang mengharamkan secara mutlak atau makruh litahrim. Ada yang menetapkannya semagai amalan yang makruh li­tanzih. Ada pula yang mengaskan sebagai amal yang boleh bahkan sunah sebagaimana kaum pria.

JELANG PERNIKAHAN: Mau Nikah, Pekerjaan Belum Mapan
Di antara ikhwan, banyak sekali yang sebenarnya sudah punya keinginan kuat untuk menikah, namun mereka belum berani, karena merasa penghasilannya belum mencukupi. Untuk diri sendiri saja masih pas-pasan, bagaimana kalau untuk menghidupi keluarga? Masalahnya, di saat kebutuhan untuk menikah sudah begitu mendesak, syahwat tak bisa dikendalikan lagi dengan puasa, apakah hal seperti ini bisa dijadikan alasan untuk menunda nikah? Bukankah Allah berjanji akan membantu seorang pemuda yang menikah demi menyelamatkan agamanya?

RUMAH TANGGAKU: Tidak Tahan Akhlak Suami
Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz ditanya, “Bagaimana hukum syariat bila saya sebagai seorang wanita meminta cerai karena hubungan suami istri tidak mungkin dipertahankan, yakni karena beberapa sebab berikut: Pertama, suami saya jahil dan tidak mengetahui hak istri, seringkali mencaci saya dan ayah saya, bahkan menyebut saya sebagai orang Yahudi, orang Nashrani atau Syi’ah Rafidhah. Akan tetapi saya masih bisa bersabar terhadap akhlak buruknya tersebut demi masa depan anak-anak. Namun ketika saya menderita sejenis penyakit radang persendian, saya menjadi lemah, tidak bisa bersabar lagi menghadapinya…

PRINSIP-PRINSIP MENGKAJI AGAMA


Penulis: Al-Ustadz Qomar Suaidi

Menuntut ilmu agama tidak cukup bermodal semangat saja. Harus tahu pula rambu-rambu yang telah digariskan syariat. Tujuannya agar tidak bingung menghadapi seruan dari banyak kelompok dakwah. Dan yang paling penting, tidak terjatuh kepada pemahaman yang menyimpang!

Dewasa ini banyak sekali ‘jalan’ yang ditawarkan untuk mempelajari dienul Islam. Masing-masing pihak sudah pasti mengklaim jalannya sebagai yang terbaik dan benar. Melalui berbagai cara mereka berusaha meraih pengikut sebanyak-banyaknya. Lihatlah sekeliling kita. Ada yang menawarkan jalan dengan memenej qalbunya, ada yang mengajak untuk ikut hura-huranya politik, ada yang menyeru umat untuk segera mendirikan Khilafah Islamiyah, ada pula yang berkelana dari daerah satu ke daerah lain mengajak manusia ramai-ramai ke masjid.

Namun lihat pula sekeliling kita. Kondisi umat Islam masih begini-begini saja. Kebodohan dan ketidakberdayaan masih menyelimuti. Bahkan sepertinya makin bertambah parah.

Adakah yang salah dari tindakan mereka? Ya, bila melihat kondisi umat yang semakin jatuh dalam kegelapan, sudah pasti ada yang salah. Mengapa mereka tidak mengajak umat untuk kembali mempelajari agamanya saja? Mengapa mereka justru menyibukkan umat dengan sesuatu yang berujung kesia-siaan?

Ahlussunnah wal Jama’ah sebagai pewaris Nabi selalu berusaha mengamalkan apa yang diwasiatkan Rasulullah untuk mengajak umat kembali mempelajari agamanya. Dalam berbagai hal, Ahlussunnah tidak akan pernah keluar dari jalan yang telah digariskan oleh Nabi Shallallahu ‘alayhi wa Sallam. Lebih-lebih dalam mengambil dan memahami agama di mana hal itu merupakan sesuatu yang sangat asasi pada kehidupan. Inilah yang sebenarnya sangat dibutuhkan umat.

Berikut kami akan menguraikan manhaj Ahlussunnah wal Jama’ah dalam mengkaji agama, namun kami hanya akan menyebutkan hal-hal yang sangat pokok dan mendesak untuk diungkapkan. Tidak mungkin kita menyebut semuanya karena banyaknya sementara ruang yang ada terbatas.

Makna Manhaj

Manhaj dalam bahasa Arab adalah sebuah jalan terang yang ditempuh. Sebagaimana dalam firman Allah:

“Dan kami jadikan untuk masing-masing kalian syariat dan minhaj.” (Al-Maidah: 48)

Kata minhaj, sama dengan kata manhaj . Kata minhaj dalam ayat tersebut diterangkan oleh Imam ahli tafsir Ibnu Abbas, maknanya adalah sunnah. Sedang sunnah artinya jalan yang ditempuh dan sangat terang. Demikian pula Ibnu Katsir menjelaskan (lihat Tafsir Ibnu Katsir 2/67-68 dan Mu’jamul Wasith).

Yang diinginkan dengan pembahasan ini adalah untuk menjelaskan jalan yang ditempuh Ahlussunnah dalam mendapatkan ilmu agama. Dengan jalan itulah, insya Allah kita akan selamat dari berbagai kesalahan atau kerancuan dalam mendapatkan ilmu agama. Inilah rambu-rambu yang harus dipegang dalam mencari ilmu agama:

1. Mengambil ilmu agama dari sumber aslinya yaitu Al Qur’an dan As Sunnah.

Allah Ta’ala berfirman:
“Ikutilah apa yang diturunkan kepada kalian dari Rabb kalian dan jangan kalian mengikuti para pimpinan selain-Nya. Sedikit sekali kalian mengambil pelajaran darinya.” (Al-A’raf: 3)

Dan Rasulullah Shallallahu ‘alayhi wa Sallam bersabda:
“Ketahuilah bahwasanya aku diberi Al Qur’an dan yang serupa dengannya bersamanya.” (Shahih, HR. Ahmad dan Abu Dawud dari Miqdam bin Ma’di Karib. Lihat Shahihul Jami’ N0. 2643)

2. Memahami Al Qur’an dan As Sunnah sesuai dengan pemahaman salafus shalih,

yakni para sahabat dan yang mengikuti mereka dari kalangan tabi’in dan tabi’ut tabi’in. Sebagaimana sabda Nabi Shallallahu ‘alayhi wa Sallam:

“Sebaik-baik manusia adalah generasiku kemudian yang setelah mereka kemudian yang setelah mereka.” (Shahih, HR. Al-Bukhari dan Muslim)

Kebaikan yang berada pada mereka adalah kebaikan yang mencakup segala hal yang berkaitan dengan agama, baik ilmu, pemahaman, pengamalan dan dakwah.

Ibnul Qayyim berkata: “Nabi mengabarkan bahwa sebaik-baik generasi adalah generasinya secara mutlak. Itu berarti bahwa merekalah yang paling utama dalam segala pintu-pintu kebaikan. Kalau tidak demikian, yakni mereka baik dalam sebagian sisi saja maka mereka bukan sebaik-baik generasi secara mutlak.” (lihat Bashair Dzawis Syaraf: 62)

Dengan demikian, pemahaman mereka terhadap agama ini sudah dijamin oleh Nabi. Sehingga, kita tidak meragukannya lagi bahwa kebenaran itu pasti bersama mereka dan itu sangat wajar karena mereka adalah orang yang paling tahu setelah Nabi. Mereka menyaksikan di mana dan kapan turunnya wahyu dan mereka tahu di saat apa Nabi Shallallahu ‘alayhi wa Sallam mengucapkan hadits. Keadaan yang semacam ini tentu sangat mendukung terhadap pemahaman agama. Oleh karenanya, para ulama mengatakan bahwa ketika para shahabat bersepakat terhadap sesuatu, kita tidak boleh menyelisihi mereka. Dan tatkala mereka berselisih, maka tidak boleh kita keluar dari perselisihan mereka. Artinya kita harus memilih salah satu dari pendapat mereka dan tidak boleh membuat pendapat baru di luar pendapat mereka.

Imam Syafi’i mengatakan: “Mereka (para shahabat) di atas kita dalam segala ilmu, ijtihad, wara’ (sikap hati-hati), akal dan pada perkara yang mendatangkan ilmu atau diambil darinya ilmu. Pendapat mereka lebih terpuji dan lebih utama buat kita dari pendapat kita sendiri -wallahu a’lam- … Demikian kami katakan. Jika mereka bersepakat, kami mengambil kesepakatan mereka. Jika seorang dari mereka memiliki sebuah pendapat yang tidak diselisihi yang lain maka kita mengambil pendapatnya dan jika mereka berbeda pendapat maka kami mengambil sebagian pendapat mereka. Kami tidak akan keluar dari pendapat mereka secara keseluruhan.” (Al-Madkhal Ilas Sunan Al-Kubra: 110 dari Intishar li Ahlil Hadits: 78].

Begitu pula Muhammad bin Al Hasan mengatakan: “Ilmu itu empat macam, pertama apa yang terdapat dalam kitab Allah atau yang serupa dengannya, kedua apa yang terdapat dalam Sunnah Rasulullah atau yang semacamnya, ketiga apa yang disepakati oleh para shahabat Nabi atau yang serupa dengannya dan jika mereka berselisih padanya, kita tidak boleh keluar dari perselisihan mereka …, keempat apa yang diangap baik oleh para ahli fikih atau yang serupa dengannya. Ilmu itu tidak keluar dari empat macam ini.” (Intishar li Ahlil Hadits: 31)

Oleh karenanya Ibnu Taimiyyah berkata: “Setiap pendapat yang dikatakan hanya oleh seseorang yang hidup di masa ini dan tidak pernah dikatakan oleh seorangpun yang terdahulu, maka itu salah.” Imam Ahmad mengatakan: “Jangan sampai engkau mengeluarkan sebuah pendapat dalam sebuah masalah yang engkau tidak punya pendahulu padanya.” (Majmu’ Fatawa: 21/291)

Hal itu -wallahu a’lam- karena Nabi bersabda:

“Sesungguhnya Allah melindungi umatku untuk berkumpul di atas kesesatan.” (Hasan, HR Abu Dawud no:4253, Ibnu Majah:395, dan Ibnu Abi Ashim dari Ka’b bin Ashim no:82, 83 dihasankan oleh As Syaikh al Albani dalam Silsilah As- Shahihah:1331]

Jadi tidak mungkin dalam sebuah perkara agama yang diperselisihkan oleh mereka, semua pendapat adalah salah. Karena jika demikian berarti mereka telah berkumpul di atas kesalahan. Karenanya pasti kebenaran itu ada pada salah satu pendapat mereka, sehingga kita tidak boleh keluar dari pendapat mereka. Kalau kita keluar dari pendapat mereka, maka dipastikan salah sebagaimana dijelaskan oleh Ibnu Taimiyyah di atas.

3. Tidak melakukan taqlid atau ta’ashshub (fanatik) madzhab.

Allah berfirman:
“Ikutilah apa yang diturunkan kepadamu dari Tuhanmu dan janganlah kamu mengikuti pemimpin-pemimpin selain-Nya. Amat sedikitlah kamu mengambil pelajaran (darinya).” (Al-A’raf: 3)

“Dan apa yang diberikan Rasul kepadamu maka terimalah. Dan apa yang dilarangnya bagimu maka tinggalkanlah. Bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah sangat keras hukuman-Nya.” (Al-Hasyr: 7)

Dengan jelas ayat di atas menganjurkan untuk mengikuti apa yang diturunkan Allah baik berupa Al Qur’an atau hadits. Maka ucapan siapapun yang tidak sesuai dengan keduanya berarti harus ditinggalkan. Imam Syafi’i mengatakan: “Kaum muslimin bersepakat bahwa siapapun yang telah jelas baginya Sunnah Nabi maka dia tidak boleh berpaling darinya kepada ucapan seseorang, siapapun dia.” (Sifat Shalat Nabi: 50)

Demikian pula kebenaran itu tidak terbatas pada pendapat salah satu dari Imam madzhab yang empat. Selain mereka, masih banyak ulama yang lain, baik yang sezaman atau yang lebih dulu dari mereka. Ibnu Taimiyah mengatakan:
“Sesungguhnya tidak seorangpun dari ahlussunnah mengatakan bahwa kesepakatan empat Imam itu adalah hujjah yang tidak mungkin salah. Dan tidak seorangpun dari mereka mengatakan bahwa kebenaran itu terbatas padanya dan bahwa yang keluar darinya berarti batil. Bahkan jika seorang yang bukan dari pengikut Imam-imam itu seperti Sufyan Ats Tsauri, Al Auza’i, Al Laits bin Sa’ad dan yang sebelum mereka atau Ahlul Ijtihadyang setelah mereka mengatakan sebuah pendapat yang menyelisihi pendapat Imam-imam itu, maka perselisihan mereka dikembalikan kepada Allah Ta’ala dan Rasul-Nya, dan pendapat yang paling kuat adalah yang berada di atas dalil.” (Minhajus Sunnah: 3/412 dari Al Iqna’: 95).

Sebaliknya, ta’ashshub (fanatik) pada madzhab akan menghalangi seseorang untuk sampai kepada kebenaran. Tak heran kalau sampai ada dari kalangan ulama madzhab mengatakan: “Setiap hadits yang menyelisihi madzhab kami maka itu mansukh (terhapus hukumnya) atau harus ditakwilkan (yakni diarahkan kepada makna yang lain).”

Akhirnya madzhablah yang menjadi ukuran kebenaran bukan ayat atau hadits. Bahkan ta’ashub semacam itu membuat kesan jelek terhadap agama Islam sehingga menghalangi masuk Islamnya seseorang sebagaimana terjadi di Tokyo ketika beberapa orang ingin masuk Islam dan ditunjukkan kepada orang-orang India maka mereka menyarankan untuk memilih madzhab Hanafi. Ketika datang kepada orang-orang Jawa atau Indonesia mereka menyarankan untuk memilih madzhab Syafi’i. Mendengar jawaban-jawaban itu mereka sangat keheranan dan bingung sehingga sempat menghambat dari jalan Islam [Lihat Muqaddimah Sifat Shalat Nabi hal: 68 edisi bahasa Arab)

4. Waspada dari para da’i jahat.

Jahat yang dimaksud bukan dari sisi kriminal tapi lebih khusus adalah dari tinjauan keagamaan. Artinya mereka yang membawa ajaran-ajaran yang menyimpang dari aqidah Ahlussunnah wal Jama’ah, sedikit atau banyak. Di antara ciri-ciri mereka adalah yang suka berdalil dengan ayat-ayat yang belum begitu jelas maknanya untuk bisa mereka tafsirkan semau mereka. Dengan itu mereka maksudkan menebar fitnah yakni menyesatkan para pengikutnya. Allah berfirman:

“Adapun yang dalam hatinya terdapat penyelewengan (dari kebenaran) maka mereka mengikuti apa yang belum jelas dari ayat-ayat itu, (mereka) inginkan dengannya fitnah dan ingin mentakwilkannya. Padahal tidak ada yang mengetahui takwilnya kecuali Allah.” (Ali-Imran: 7)

Ibnu Katsir mengatakan: “Menginginkan fitnah artinya ingin menyesatkan para pengikutnya dengan mengesankan bahwa mereka berhujjah dengan Al Qur’an untuk (membela) bid’ah mereka padahal Al Qur’an itu sendiri menyelisihinya. Ingin mentakwilkannya artinya menyelewengkan maknanya sesuai dengan apa yang mereka inginkan.” (Tafsir Ibnu Katsir: 1/353]

5. Memilih guru yang dikenal berpegang teguh kepada Sunnah Nabi dalam berakidah, beribadah, berakhlak dan mu’amalah.

Hal itu karena urusan ilmu adalah urusan agama sehingga tidak bisa seseorang sembarangan atau asal comot dalam mengambilnya tanpa peduli dari siapa dia dapatkan karena ini akan berakibat fatal sampai di akhirat kelak. Maka ia harus tahu siapa yang akan ia ambil ilmu agamanya.

Jangan sampai dia ambil agamanya dari orang yang memusuhi Sunnah atau memusuhi Ahlussunnah atau tidak pernah diketahui belajar akidah yang benar karena selama ini yang dipelajari adalah akidah-akidah yang salah atau mendapat ilmu hanya sekedar hasil bacaan tanpa bimbingan para ulama Ahlussunnah. Sangat dikhawatirkan, ia memiliki pemahaman-pemahaman yang salah karena hal tersebut.

Seorang tabi’in bernama Muhammad bin Sirin mengatakan: “Sesungguhnya ilmu ini adalah agama maka lihatlah dari siapa kalian mengambil agama kalian.”

Beliau juga berkata:“Dahulu orang-orang tidak bertanya tentang sanad (rangkaian para rawi yang meriwayatkan) hadits, maka tatkala terjadi fitnah mereka mengatakan: sebutkan kepada kami sanad kalian, sehingga mereka melihat kepada Ahlussunnah lalu mereka menerima haditsnya dan melihat kepada ahlul bid’ah lalu menolak haditsnya.” (Riwayat Muslim dalam Muqaddimah Shahih-nya)

Nabi Shallallahu ‘alayhi wa Sallam bersabda:

“Keberkahan itu berada pada orang-orang besar kalian.”
(Shahih, HR. Ibnu Hibban, Al Hakim, Ibnu Abdil Bar dari Ibnu Abbas, dalam kitab Jami’ Bayanul Ilm hal:614 dengan tahqiq Abul Asybal, dishahihkan oleh Syaikh Al Albani dalam Shahihul Jami’:2887 dan As Shahihah:1778)

Dalam ucapan Abdullah bin Mas’ud:

“Manusia tetap akan baik selama mereka mengambil ilmu dari orang-orang besar mereka, jika mereka mengambilnya dari orang-orang kecil dan jahat di antara mereka, maka mereka akan binasa.”
Diriwayatkan pula yang semakna dengannya dari shahabat Umar bin Khattab. (Riwayat Ibnu Abdil Bar dalam Jami’ Bayanul Ilm hal: 615 dan 616, tahqiq Abul Asybal dan dishahihkan olehnya)

Ibnu Abdil Bar menukilkan dari sebagian ahlul ilmi (ulama) maksud dari hadits di atas:“Bahwa yang dimaksud dengan orang-orang kecil dalam hadits Umar dan hadits-hadits yang semakna dengannya adalah orang yang dimintai fatwa padahal tidak punya ilmu. Dan orang yang besar artinya yang berilmu tentang segala hal. Atau yang mengambil ilmu dari para shahabat.” (Lihat Jami’ Bayanil Ilm: 617).

6. Tidak mengambil ilmu dari sisi akal atau rasio,

karena agama ini adalah wahyu dan bukan hasil penemuan akal. Allah berkata kepada Nabi-Nya:

“Katakanlah (Ya, Muhammad): ‘sesungguhnya aku memberi peringataan kepada kalian dengan wahyu.’.” (Al-Anbiya: 45)

“Dan tidaklah yang diucapkan itu (Al Qur’an) menurut kemauan hawa nafsunya. Ucapannya itu tiada lain hanyalah wahyu yang diwahyukan (kepadanya).” (An-Najm: 3-4)

Sungguh berbeda antara wahyu yang bersumber dari Allah Dzat yang Maha Sempurna yang sudah pasti wahyu tersebut memiliki kesempurnaan, dibanding akal yang berasal dari manusia yang bersifat lemah dan yang dihasilkannya pun lemah.

Jadi tidak boleh bagi siapapun meninggalkan dalil yang jelas dari Al Qur’an ataupun hadits yang shahih karena tidak sesuai dengan akalnya. Seseorang harus menundukkan akalnya di hadapan keduanya.

Ali bin Abi Thalib berkata: “Seandainya agama ini dengan akal maka tentunya bagian bawah khuf (semacam kaos kaki yang terbuat dari kulit) lebih utama untuk diusap (pada saat berwudhu-red) daripada bagian atasnya. Dan sungguh aku melihat Rasulullah mengusap bagian atas khuf-nya.” (shahih, HR Abu Dawud dishahihkan As-Syaikh Al Albani dalam Shahih Sunan Abu Dawud no:162).

Pada ucapan beliau ada keterangan bahwa dibolehkan seseorang mengusap bagian atas khuf-nya atau kaos kaki atau sepatunya ketika berwudhu dan tidak perlu mencopotnya jika terpenuhi syaratnya sebagaimana tersebut dalam buku-buku fikih. Yang jadi bahasan kita disini adalah ternyata yang diusap justru bagian atasnya, bukan bagian bawahnya. Padahal secara akal yang lebih berhak diusap adalah bagian bawahnya karena itulah yang kotor.

Ini menunjukkan bahwa agama ini murni dari wahyu dan kita yakin tidak akan bertentangan dengan akal yang sehat dan fitrah yang selamat. Masalahnya, terkadang akal tidak memahami hikmahnya, seperti dalam masalah ini. Bisa jadi syariat melihat dari pertimbangan lain yang belum kita mengerti.

Jangan sampai ketidakmengertian kita menjadikan kita menolak hadits yang shahih atau ayat Al Qur’an yang datang dari Allah yang pasti membawa kebaikan pada makhluk-Nya. Hendaknya kita mencontoh sikap Ali bin Abi Thalib di atas.

Abul Mudhaffar As Sam’ani menerangkan Akidah Ahlussunnah, katanya: “Adapun para pengikut kebenaran mereka menjadikan Kitab dan Sunnah sebagai panutan mereka, mencari agama dari keduanya. Adapun apa yang terbetik dalam akal dan benak, mereka hadapkan kepada Kitab dan Sunnah. Kalau mereka dapati sesuai dengan keduanya mereka terima dan bersyukur kepada Allah yang telah memperlihatkan hal itu dan memberi mereka taufik. Tapi kalau mereka dapati tidak sesuai dengan keduanya mereka meninggalkannya dan mengambil Kitab dan Sunnah lalu menuduh salah terhadap akal mereka. Karena sesungguhnya keduanya tidak akan menunjukkan kecuali kepada yang haq (kebenaran), sedangkan pendapat manusia kadang benar kadang salah.” (Al-Intishar li Ahlil Hadits: 99)

Ibnul Qoyyim menyimpulkan bahwa pendapat akal yang tercela itu ada beberapa macam:
a. Pendapat akal yang menyelisihi nash Al Qur’an atau As Sunnah.
b. Berbicara masalah agama dengan prasangka dan perkiraan yang dibarengi dengan sikap menyepelekan mempelajari nash-nash, serta memahami dan mengambil hukum darinya.
c. Pendapat akal yang berakibat menolak asma’ (nama) Allah, sifat-sifat dan perbuatan-Nya dengan teori atau qiyas yang batil yang dibuat oleh para pengikut filsafat.
d. Pendapat yang mengakibatkan tumbuhnya bid’ah dan matinya Sunnah.
e. Berbicara dalam hukum-hukum syariat sekedar dengan anggapan baik dan prasangka.
Adapun pendapat akal yang terpuji, secara ringkas adalah yang sesuai dengan syariat dengan tetap mengutamakan dalil syariat. (lihat, I’lam Muwaqqi’in: 1/104-106, Al- Intishar: 21,24, dan Al Aql wa Manzilatuhu)

7. Menghindari perdebatan dalam agama. Nabi Shallallahu ‘alayhi wa Sallam bersabda:

“Tidaklah sebuah kaum sesat setelah mereka berada di atas petunjuk kecuali mereka akan diberi sifat jadal (berdebat). Lalu beliau membaca ayat, artinya: ‘Bahkan mereka adalah kaum yang suka berbantah-bantahan’.” (Hasan, HR Tirmidzi dari Abu Umamah Al Bahili, dihasankan oleh As Syaikh Al Albani dalam Shahihul Jami’ no: 5633)

Ibnu Rajab mengatakan: “Di antara sesuatu yang diingkari para Imam salafus shalih adalah perdebatan, berbantah-bantahan dalam masalah halal dan haram. Itu bukan jalannya para Imam agama ini.” (Fadl Ilm Salaf 57 dari Al-Intishar: 94).

Ibnu Abil Izz menerangkan makna mira’ (berbantah-bantahan) dalam agama Allah adalah membantah ahlul haq (pemegang kebenaran) dengan menyebutkan syubhat-syubhat ahlul bathil, dengan tujuan membuat keraguan padanya dan menyimpangkannya. Karena perbuatan yang demikian ini mengandung ajakan kepada kebatilan dan menyamarkan yang hak serta merusak agama Islam. (Syarh Aqidah Thahawiyah: 313)

Oleh karenanya Allah memerintahkan berdebat dengan yang paling baik. Firman-Nya:

“Ajaklah kepada jalan Rabb-Mu dengan hikmah, mau’idhah (nasihat) yang baik dan berdebatlah dengan yang paling baik.” (An-Nahl: 125).

Para ulama menerangkan bahwa perdebatan yang paling baik bisa terwujud jika niat masing-masing dari dua belah pihak baik. Masalah yang diperdebatkan juga baik dan mungkin dicapai kebenarannya dengan diskusi. Masing-masing beradab dengan adab yang baik, dan memang punya kemampuan ilmu serta siap menerima yang haq jika kebenaran itu muncul dari hasil perdebatan mereka. Juga bersikap adil serta menerima kembalinya orang yang kembali kepada kebenaran. (lihat rinciannya dalam Mauqif Ahlussunnah 2/587-611 dan Ar-Rad ‘Alal Mukhalif hal:56-62).

Perdebatan para shahabat dalam sebuah masalah adalah perdebatan musyawarah dan nasehat. Bisa jadi mereka berselisih dalam sebuah masalah ilmiah atau amaliah dengan tetap bersatu dan berukhuwwah. (Majmu’ Fatawa 24/172)

Inilah beberapa rambu-rambu dalam mengambil ilmu agama sebagaimana terdapat dalam Al Qur’an maupun hadits yang shahih serta keterangan para ulama. Kiranya itu bisa menjadi titik perhatian kita dalam kehidupan beragama ini, sehingga kita berharap bisa beragama sesuai yang diinginkan oleh Allah dan Rasul-Nya

Seputar Islam


Ilma95.com pemandu download Seputar Islami……

Jenis Nama File Ukuran Download
Icon File Microsoft Excel Indeks Al-Qur’an 754 Kb
Icon File Zip
Download
Icon File Microsoft Excel Hitung Zakat 55 Kb Download
Icon File Microsoft Excel Program Evaluasi Harian 17 Kb Download
Icon File Microsoft Excel Simulasi Diri (Muhasabah) 39 Kb
Icon File Zip
Download
Icon File Microsoft Access Zakat Sistem 750 Kb
Icon File Zip
Download
Icon File Text Rahasia Al-Quran 451 Kb Download
Icon File Rich Text Format Menangkal Bahaya JIL Dan FLA 241 Kb
Icon File Zip
Download
Icon File Microsoft Excel Kalender Puasa Sunnah Tahun 1900-2078 259 KB
Icon File Zip
Download
Icon File Lain2 Kisah Muhammad SAW 393 Kb
Icon File Zip
Download
Icon File Ebook Kisah Khulafaur Rasyidin 641 Kb
Icon File Zip
Download
Icon File Ebook Wives & Children of Prophet 971 KB
Icon File Zip
Download
Icon File Ebook Biographies of Companions 1,28 MB
Icon File Zip
Download
Icon File Ebook Al-Tirmidhi Hadith 1,10 MB
Icon File Zip
Download
Icon File Ebook A Source of Civilization, Yusuf Al-Qaradawi 518 KB
Icon File Zip
Download
Icon File Ebook 20 Hujah Golongan Anti Hadis & Jawabannya 516 KB
Icon File Zip
Download
Icon File Ebook Pedoman Bermazhab Dalam Islam 420 KB
Icon File Zip
Download
Icon File Ebook Panduan Lengkap Puasa Ramadhan 457 KB
Icon File Zip
Download
Icon File Ebook Hadits Untuk Pegangan Sehari-Hari 343 KB
Icon File Zip
Download

Berita Tentang Islam


Silahkan Download langsung dibawah ini!…….

Pedoman Shalat

Indeks Al-Qur’an

Pelajaran Ilmu Tajwid

Icon File PDF

Prinsip-prinsip Dasar Keimanan

Tauhid & Makna Syahadatain

Kiat Shalat Khusyu’

Icon File CHM

Hadits Arbain An-Nawawi

Matematika Alam Semesta

Sejarah Teks Alqur’an

Icon File Microsoft Help

Sejarah Hidup Nabi Muhammad

Himpunan Kisah Teladan

Terjemahan Al-Qur’an

Icon File Microsoft Word

Panduan Ramadhan

Kumpulan Nama-Nama Islami

Materi Tarbiyah

Icon File Microsoft Power Point

Sifat Rasulullah

19 Hadits Mengenai Wanita

Aliran Sesat dan Cara Menghindarinya

Icon File Lit

Ancaman Global Freemasonry

Sihir Ilmu Kesaktian

Silahkan Download langsung dibawah ini……

Sembilan Wali (Wali Songo)

Icon File HTML

Dialog Islam Kristen

Berbakti Kepada Orang Tua

Kalkulator Zakat

Icon File Flash

The Miracle of Al-Qur’an

The Last Breath

Selamat Hari Raya

Icon File Program

Al-Qur’an v1.1.3

The Hadith Software v1.0

Shollu v3.06

Icon File Mp3

Surat Al Fatihaah

Surat Al Ikhlash

Surat Al Falaq

Icon File Screensaver

Asmaul Husna Screensaver

Haji Screensaver

Ka’bah Screensaver

Icon File Mpeg

Fakta Penciptaan – Bagian 1

Fakta Penciptaan – Bagian 2

Fakta Penciptaan – Bagian 3

Icon File Audio

Egypt 1 Azhan

Egypt 2 Azhan

Fajr Azhan from Egypt

Peperangan Di Masa Rasulullah (bagian 1)


Tak lama setelah Rasulullah saw. menetap di Madinah mulailah terjadi peperangan antara kaum Muslimin dengan kafir Quraisy. Oleh sejarawan Muslim, peperangan yang diikuti langsung oleh Nabi diistilahkan dengan ghazwah, sedangkan yang tidak disertai Nabi diistilahkan dengan sariyyah. Sedang dalam hidup Nabi terjadi dua puluh enam kali ghaz¬wah dan tiga puluh delapan kali sariyyah. Terdapat tiga belas kali peperangan yang terpenting, yaitu:

1. Perang Badar

Perang Badar Raya terjadi pada tanggal 17 Ramadhan 2 Hijriah. Perang ini bermula dari kesalah¬pahaman kafilah dagang kaum Musyrikin Makkah yang sedang kembali dari Syam menuju Makkah. Rasulullah memerintahkan sejumlah sahabatnya untuk mengamati kafilah Quraisy yang sedang lewat di wilayah Madinah itu tanpa berrnaksud untuk berperang di bawah pimpinan Nabi saw. sendiri.

Begitu melihat rombongan orang Madinah yang mendekati kafilahnya, segeralah Abu Sofyan, pim¬pinan kafilah, mengutus anak buahnya untuk segera minta bantuan dari Makkah. Segeralah datang pasukan dari Makkah dengan kekuatan 1.000 orang tentara, 600 orang di antaranya berkuda (kavaleri) yang merangkap sebagai kompi perbeka¬lan (logistik), dan 300 orang tentara cadangan yang merangkap sebagai regu musik. Di samping itu mereka juga membawa 700 ekor unta. Regu musiknya sepanjang jalan menggemakan lagu-lagu perang, terutama yang berisikan ejekan terhadap Nabi saw. dan kaum Muslimin.

Kompi patroli yang dikerahkan Nabi saw. sendiri berke¬kuatan 313 prajurit, dengan 70 ekor unta, dan tidak lebih dari 3 ekor kuda. Mereka kebanyakan terdiri dan penduduk asli Madinah. Mereka mengendarai tunggangan yang ada itu secara bergantian.

Beberapa saat sebelum berangkat Nabi Muham¬mad saw. bermusyawarah dengan para sahabatnya dari kalangan Anshar, tentang kelompok mana yang lebih dulu diterjunkan ke medan laga. Kelompok Muhajirin segera menawarkan diri dan menyatakan sanggup. Sementara itu kelompok Anshar juga paham, Nabi saw. menghendaki agar merekalah yang lebih dahulu terjun walaupun Nabi belum berterus terang menyatakan maksudnya itu. Karena itulah Saad bin Mu’az, sebagai sesepuh kaum Anshar, bangkit menyatakan kesiapannya untuk diterjunkan lebih dahulu.

Saad bin Mu’az berkata, “Wahai Rasulullah, sungguh kami ini telah beriman kepadamu, telah seratus persen meyakini agama dan telah mengakui kebenaran agama yang engkau bawa kepada kami. Kami telah bersumpah setia untuk melaksanakan semua yang telah kami janjikan kepadamu. Oleh karena itu, segeralah laksanakan apa yang telah menjadi keputusanmu, ya Rasulullah, dan kami setia kepadamu. Demi Allah yang telah membangkitkanmu dengan membawa kebenaran, kalau engkau perintahkan kami untuk mengarungi lautan ini (perang), niscayalah kami arungi bersamamu. Tak seorang pun di antara kami ini yang akan menolak komandomu dan tak seorang pun yang akan mundur dari medan laga, hari ini atau besok. Kami sanggup tabah menjalani peperangan ini dan telah siap sedia untuk syahid di dalamnya. Mudah-mudahan Allah swt. merestui apa-apa yang engkan percayakan kepada kami dan marilah berangkat bersama kami, dalam berkah Ilahi.”

Banyak lagi kalangan Anshar yang memberikan pernyataan serupa, sehingga legalah hati Nabi Saw.

Seusai rapat itu, Nabi saw. bersabda, “Berangkatlah kamu bersama inayah Allah, dan berbesar hatilah. Allah telah menggariskan dua pilihan menang atau kalah.”

Kemudian Nabi saw. berangkat dengan pasu¬kannya untuk segera menduduki sebuah telaga kecil yang ada di Gunung Badar itu. Setiba di sana, berka¬talah Habbab bin Munzir, “Ya Rasulullah, tempat atau daerah ini telah dianugerahkan oleh Allah kepadamu (telah diduduki lebih dahulu) dan janganlah engkau maju atau mundur dari tempat ini, apa pun yang terjadi, baik pasukan kita maju atau mundur, atau terjadi kejar mengejar. Kita harus bertahan di daerah ini.” Rasulullah menjawab, “Memang begitulah seharusnya.”

Kemudian Habbab menunjuk sebuah telaga lain dan berjalan ke sana bersama-sama untuk lebih da¬hulu menguasainya, sehingga memungkinkan ten¬tara-tentara Islam untuk memutuskan jalur suplai air. Di dekat telaga inilah pasukan dipusatkan, dan Saad bin Muaz mengerahkan kawan-kawannya untuk mendirikan kemah dan dikawal oleh beberapa prajurit.

Akan tetapi Rasulullah heran terhadap komando dan kerja Saad itu, lalu beliau bertanya kepada Saad, “Untuk apa itu kau lakukan.” “Sudah banyak kaum yang bergabung dengan kami, tetapi belum ada orang yang sangat kami cintai selain engkau, ya Rasulullah. Kami boleh mati saat ini juga, tetapi engkau harus kembali dalam keadaan selamat,” jawab Saad. “Jika mereka ini (prajurit-prajurit Anshar) tahu engkau terancam, tentulah mereka tidak mau jauh darimu.”

Mendengar penjelasan itu berdoalah Nabi saw. agar ia (Saad) dan seluruh tentaranya selamat dan memenangkan peperangan, dan apa yang diusulkan Saad tadi diperkenankan olehnya.

Tatkala kedua belah pihak telah berhadap-¬hadapan untuk memulai penyerbuan, tampillah Nabi saw. mengatur barisan seraya memberi semangat kepada seluruh prajurit, “Demi Allah yang nyawaku ini ditangannya, musuh-musuh kita sekarang akan menghadapi pahlawan¬-pahlawan yang sabar dan tangguh, serta akan memenang¬kan peperangan. Jika satu di antaranya terbunuh, maka Allah yang akan memasukkannya ke surga.”

Kemudian Nabi kembali ke kemahnya bersama Abu Bakar, sementara Saad bin Muaz mengawalnya dengan pedang terhunus. Nabi berdoa, “Ya Allah, aku nantikan janji-Mu. Ya Allah, jika pasukanku ini kalah, niscaya tidak ada lagi orang yang akan menyembahmu di bumi ini.”

Beliau terus melakukan shalat khauf dan sujud agak lama, lalu diingatkan oleh Abu Bakar dengan ucapan, “Bangunlah, sebentar lagi Allah akan menunaikan janjinya kepadamu.”

Tak berapa lama ternyata perang telah berhenti dan kemenangan diraih oleh pihak Islam. Dan pihak Quraisy kurang lebih 70 orang terbunuh, termasuk orang yang paling musyrik, Abu Jahal, dan pemim¬pin lainnya, 70 orang lainnya tertawan. Setelah mayat-mayat tentara itu dimakamkan kembalilah Nabi saw. dengan pasukannya ke Madinah. Kemu¬dian beliau bermusyawarah dengan beberapa orang sahabat guna membicarakan tindakan yang akan diambil terhadap tawanan-tawanan perang itu. Umar bin Khattab mengusulkan agar mereka dibunuh saja. Tetapi, Abu Bakar mengusulkan agar mereka dibebaskan dengan syarat memberikan tebu¬san. Pendapat inilah yang disetujui untuk ditetapkan sebagai keputusan resmi. Maka ditebuslah tawanan-tawanan itu oleh kaum musyrikin Makkah.

Tentang Perang Badar ini turun ayat, “Sungguh Allah telah menolong kamu dalam Perang Badar, padahal kamu pada waktu itu dalam keadaan lemah. Karena itu bertakwalah kepada Allah supaya kamu mensyukurinya. Cukuplah jika kamu sabar dan siaga, dan mereka datang menyerang kamu seketika itu juga niscaya Allah menolong kamu dengan lima ribu malaikat yang memakai tanda. Ingatlah ketika kamu mengatakan kepada orang-orang Mukmin, apakah tidak cukup bagi kamu Allah membantu kamu dengan tiga ribu malaikat yang diturunkan (dari langit). Dan Allah tidak menja¬dikan pemberian bala bantuan itu melainkan sebagai kabar gembira bagi kemenanganmu dan agar tenteram hatimu karenanya. Dan kemenangan itu hanyalah dari Allah Yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana. Untuk membinasakan golongan orang-orang kafir, atau untuk menjadikan mereka itu hina, lalu mereka kembali dengan tiada memperoleh apa-apa.” (QS. Ali Imran: 123 – 127)

Di samping itu turunlah pula ayat yang berisi teguran buat Nabi saw. atas keputusannya membe¬baskan tawanan-tawanan perang dengan rnensyarat¬kan tebusan, yaitu, “Tidak patut bagi seorang Nabi mempunyai tawanan sebelum ia dapat melumpuhkan musuhnya di muka bumi. Kamu menghendaki harta benda duniawi, sedang Allah menghendaki (pahala) akhirat. Dan Allah Maha Kuasa lagi Maha Bijaksana. Kalau sekiranya tidak ada ketetapan yang terdahulu dari Allah, niscaya kamu ditimpa siksaan yang besar karena tebusan yang kamu ambil. Maka makanlah sebagian harta rampasan perang, dan Allah Maha Kuasa lagi Maha Bijaksana. Dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS. Al-Anfal:67-69)

Peperangan di Masa Rasulullah (bagian 2)


2. Perang Uhud

Perang Uhud terjadi pada hari Sabtu tanggal 15 Syawal 3 Hijriah. Orang-orang Quraisy Makkah berambisi sekali membalas kekalahannya pada perang Badar Raya. Dipersiapkannya suatu pasukan besar dengan kekuatan 3.000 orang serdadu. Dalam pasukan itu terdapat 700 ratus infanteri, 200 orang tentara berkuda (kavaleni) dan 17 orang wanita. Seorang di antara mereka yang tujuh belas ini adalah Hindun bin Utbah, isteri Abu Sofyan. Ayahnya yang bernama Utbah telah terbunuh pada perang Badar Raya.Pasukan Quraisy ini dipusatkan di suatu lembah di pegunungan Uhud, suatu pegunungan yang terletak 2 kilometer sebelah utara Madinah.Menghadapi tantangan ini, Nabi saw. dan beberapa orang sahabatnya berpendapat kaum Muslimin tidak perlu menemui musuh-musuh yang sudah siap siaga itu. Sebaliknya orang-orang Islam tetap siaga di Madinah dengan taktik bertahan (defensif). Akan tetapi sekelompok orang Islam (Muhajirin dan Anshar) terutama pemuda-pemuda yang tidak ikut ambil bagian dalam perang Badar mendesak untuk menemui tentara-tentara Quraisy dan ingin menghajarnya di gunung Uhud. Atas desakan itu Nabi surut dari pendapatnya semula. Masuklah beliau ke rumahnya, lalu keluar dalam keadaan sudah siap dengan mengenakan baju besi, menyandang tameng dan memegang tombak serta pedang.

Melihat gelagat Nabi itu, sebagian sahabat yang tadinya sependapat dengan beliau menyatakan penyesalannya terhadap orang-orang yang memaksakan keinginannya untuk berperang. Mereka yang memandang tidak perlu meladeni tentara-tentara Quraisy tadi mengatakan kepada Nabi, “Kami tidak mau mengirimmu. Jika engkau tetap setuju berangkat, berangkatlah; dan jika akan engkau urungkan, urungkanlah.”

Rasulullah saw. menjawab, “Tidak pantas bagi seorang Nabi yang sudah mengenakan baju besi untuk menanggalkannya kembali, hingga Allah menetapkan sesuatu baginya dan bagi musuh.”

Kemudian beliau berangkat bersama lebih kurang 1.000 orang tentara. Dua ratus orang memakai baju besi dan hanya dua orang tentara berkuda.

Setelah berangkat, Nabi Muhammad kembali menyeleksi pasukannya dan ternyata di dalamnya terdapat ratusan orang Yahudi yang menggabungkan diri dengan tentara Islam. Mereka itu dipimpin oleh Abdullah bin Ubay bin Salul. Nabi bertanya kepada sahabat-sahabatnya, “Apakah mereka telah masuk Islam?” “Belum,” jawab sahabat. Rasulullah memerintahkan, “Usir mereka dan perintahkan agar kembali ke Madinah. Kita tidak perlu bantuan orang-orang Musyrik untuk menghadapi orang-orang Musyrikin.”

Mereka yang berjumlah 300 orang itu pun keluar dari pasukan, dan tinggallah 700 orang pasukan Nabi. Sesampainya di pegunungan Uhud, segera di lakukan pengaturan pasukan dan pembagian posisi. Lima puluh personil ditempatkan di sebuah bukit yang terletak di belakang lereng, di mana pasukan dikonsentrasikan di bawah pimpinan Abdullah bin Jabir Al-Anshary. Mereka bertugas menghadang pasukan musuh yang akan rnenyerang dari bukit itu.

Rasulullah mengomandokan kepada penjaga bukit ini, “Siagalah kamu semuanya, dan jangan sampai musuh-musuh kita menyerbu dari belakang. Jika pasukan berkuda mereka naik ke posisi kamu, hujanilah kuda-kuda itu dengan anak panah. Kuda-kuda itu pasti tidak kuat dan takut dengan panah. Kita selalu akan unggul, manakala kamu tetap berjaga di atas bukit ini. Ya Allah, sesungguhnya aku yakin Engkau akan menolong mereka.”

Menurut pendapat lain, ketika itu Nabi mengatakan, “Bila kamu melihat burung-burung menyambar-nyambar kami yang berada di lereng, maka jangan kamu kosongkan tempat (bukit) ini, hingga datang perintahku. Dan jika kamu melihat kami dapat mengalahkan atau dapat menghancurkan mereka sampai terbunuh semuanya, maka janganlah pula kamu tinggalkan tempat ini.”

Segala sesuatunya telah diatur dan serbuan pun dimulai. Tentara Islam berhasil mengungguli musuh dan beberapa di antaranya telah terbunuh sementara yang lainnya kocar-kacir melarikan diri. Tetapi sayang tentara-tentara Islam mulai tergiur untuk mengambil harta rampasan yang ditinggalkan oleh musuh yang lain itu, tak terkecuali regu pengawal jalur rawan serbuan yang berada di bagian atas bukit. Tidak kurang dan 40 orang di antaranya turun ke lereng untuk ikut serta mengambil harta rampasan yang begitu banyak, sehingga hanya tinggal sepuluh orang saja yang berada di atas bukit. Komandannya, Abdullah bin Juber, sebelumnya telah mengingatkan mereka yang turun itu, tetapi tidak berhasil menghalanginya. Malah mereka menyanggah sang kornandan dengan kata-kata, “Tidak perlu lagi kita bersiaga di sini. Bukankah peperangan telah usai.”

Kelemahan regu pengawal bukit yang hanya berkekuatan sepuluh personal itu dimanfaatkan Khalid bin Walid yang bertindak sebagai komandan tentara Makkah. Secepat kilat ia menyerang dan melumpuhkan regu pengawal, dan turun ke lereng gunung seraya menyerbu habis-habisan dari belakang. Tibalah giliran pasukan Islam kocar-kacir dibuatnya. Pasukan musuh balik menyerbu mereka dari setiap sektor, sambil mendekati posisi Nabi saw. Dalam keadaan posisi yang sangat genting itu disiarkan pula psywar yang menyatakan Nabi telah terbunuh, sehingga tentara Islam semakin porak-poranda.

Pada waktu itu Nabi terkena lemparan batu, sampai jatuh pingsan. Tentu saja semua anak panah musuh terarah kepada beliau. Muka, lutut, bibir bawahnya luka-luka, sedangkan tutup kepalanya pecah. Posisi Nabi saw. yang hanya diapit oleh puluhan tentara saja itu, dihujani musuh dengan anak panah yang memaksa beberapa orang sahabat gugur, karena menghalangi sampainya anak-anak panah itu ke tubuh Rasulullah saw. Tercatat di antaranya Abu Dajanah, Saad bin Abi Waqas yang matian-matian bertahan dengan melontarkan hampir seribu buah anak panah, guna mengusir musuh.

Selain itu dicatat pula seorang wanita, Ummu Imarah Nusaibah Al Anshary. Srikandi ini mulanya bertugas sebagai perawat tentara Islam yang luka-luka, tetapi demi melihat jiwa Nabi terancam maut, segeralah ia memagari diri Nabi beserta suami dan dua orang putranya, sehingga ia sendiri tewas. Atas keberaniannya yang luar biasa itu, Rasulullah berkata kepadanya, “Semoga Allah memberkahi kamu sekeluarga.”

Lalu Nusaibah minta kepada Nabi berdoa agar dapat bersama-sama masuk surga dengan angota-anggota keluarga yang tewas pada waktu itu. “Ya Allah, jadikanlah mereka ini sebagai teman-temanku di surga kelak,” ucap Nabi.

Saat-saat gawat ini diceritakan oleh Nabi saw. kepada sahabat-sahabatnya, “Wanita yang bernama Nusaibah inilah yang paling sibuk memberikan perlawanan demi membela aku. Ia menderita dua belas luka terkena panah dan pedang.”

Pada saat kritis tersebut ada seorang tentara Quraisy yang bernama Ubai bin Khalaf menyerang Nabi dengan pedang terhunus, sehingga tidak ada jalan lain buat Nabi selain membela diri. Diambilnya sebatang tombak terus dilemparkannya ke tubuh Ubai sehingga tidak jadi membunuh Nabi, karena telah tewas lebih dahulu. Hanya dalam perang Uhud ini Rasulullah sempat membinasakan jiwa seseorang dan hanya Ubai bin Khalaf inilah yang mati terkena tombak Nabi, selama masa peperangannya.

Untunglah Rasulullah saw. masih mampu bangkit dan keluar dan lubang tempatnya terperosok dengan bantuan Thalhah bin Ubaidillah.

Melihat sekelompok orang-orang Musyrik Makkah masih berada di atas gunung, diperintahkannya satu regu untuk mengejarnya, seraya berseru kepada seluruh pasukan, “Mereka itu tidak pantas mengungguli kita. Ya Allah, tiada kekuatan bagi kami kecuali karena Engkau.”

Sambil bersiap-siap untuk berlari berkatalah Abu Sofyan, “Hari ini adalah hari pembalasan Perang Badar.”

Perang Uhud ini menelan korban sebanyak 70 orang dari pasukan Islam, dan 23 dan kaum Musyrikin. Suatu hal yang sangat memiriskan perasaan ialah peristiwa terbunuhnya Syaidina Hamzah, paman Rasulullah saw. Begitu beliau terkena panah, menari-narilah Hindun isteri Abu Sofyan, lalu mendatangi tempat tergeletaknya Hamzah dengan maksud melampiaskan dendam kesumat atas kematian ayahnya pada perang Badar. Dibelahnyalah dada mayat Hamzah, diambil hatinya, lalu dikunyah-kunyahnya.

Mengenai Perang Uhud ini terdapat beberapa ayat yang berisi nasihat pelipur kesedihan kaum Muslimin atas kekalahannya dan mengingatkan akan sebab-sebab terjadinya kekalahan itu. Dalam surat Ali Imran ayat 138 sampai ayat 142 dan ayat 153 dikatakan, “Dan janganlah kamu lemah semangat dan janganlah bersedih hati, dan kamulah orang-orang yang lebih tinggi derajatnya, jika kamu benar-benar beriman. Jika kamu (pada perang uhud) mendapat luka, maka sesungguhnya kaum kafir itupun mendapatkan luka yang serupa. Demikianlah, masa kami pergantikan antara manusia, agar mereka mendapat pelajaran dan supaya Allah membedakan orang-orang yang beriman dengan orang-orang yang kafir dan supaya sebagian kamu gugur sebagai syahid. Dan Allah tidak menyukai orang-orang yang zalim. Dan agar Allah membersihkan orang-orang beriman (dari dosa-dosanya) dan membinasakan orang-orang yang kafir. Apakah kamu mengira kamu akan masuk surga padahal belum nyata bagi Allah orang-orang yang berjihad di antara kamu, dan belum nyata orang-orang yang sabar.” (Ali Imran: 139-142)

“Dan sesungguhnya Allah telah memenuhi janjiNya kepada kamu, ketika kamu membunuh mereka dengan izin-Nya, sampai pada saat kamu lemah dan berselisih dalam urusan itu, dan mendurhakai perintah Rasul, sesudah Allah memperlihatkan kepada kamu sesuatu yang kamu sukai. Di antara kamu ada pula yang menghendaki akhirat. Kemudian Allah memalingkan kamu dari mereka, untuk rnenguji kamu, dan sesungguhnya Allah telah memaafkan kamu. Dan Allah memiliki karunia atas orang-orang beriman. Ingatlah ketika kamu lari dan tidak menoleh kepada seorang pun, sedang Rasul yang berada di antara kawan-kawanmu yang lain memanggil kamu. Karena itulah Allah menimpakan atas kamu kesedihan di atas kesedihan, supaya kamu tidak bersedih hati terhadap apa-apa yang luput dari sisi kamu dan terhadap apa yang menimpa kamu. Dan Allah Maha Mengetahui apa-apa yang kamu lakukan.” (Ali Imran: 152-153)

Peperangan di Masa Rasulullah (bagian 3)


3. Perang Bani Nadhir

Bani Nadhir adalah sekelompok orang Yahudi yang bertetangga dengan kaum Mukminin di Madinah. Mereka telah mengadakan perjanjian damai dan tolong menolong dengan kaum Muslimin, sebagaimana telah diceritakan terdahulu. Tetapi karakternya yang jahat itu tentulah selalu menggodanya untuk membatalkan janji dengan kaum Muslimin.

Pada waktu Rasulullah bersama beberapa orang sahabat bertamu di salah satu rumah mereka, bersepakatlah mereka untuk membunuh Nabi saw. dengan cara menjatuhkan batu dari loteng. Nabi mendadak bangkit dari tempatnya bersender, seraya bergegas menuju kota Madinah, guna mengabarkan rencana pembunuhan dirinya. Sahabat-sahabat yang ikut bersama beliau tidak mengetahui rencana busuk itu, tetapi Nabi saw. mendapat isyarat tentang itu. Kepada Muhammad bin Maslamah, Nabi memerintahkan agar mengultimatum mereka untuk pergi dari perkampungan itu selambat-lambatnya sepuluh hari setelah dikeluarkan ultimatum tersebut. Orang-orang Yahudi Bani Nadhir pun sedia untuk keluar dari wilayahnya, kalau saja tidak dihalang-halangi oleh gembong kaum Munafik, Abdullah bin Ubay.

Dikirimkannya sepucuk surat yang berisi larangan meninggalkan perkampungan dan kesediaan mengirimkan 2.000 orang tentara bantuan, sehingga mereka tidak jadi keluar, bahkan memasang kuda-kuda untuk melawan pasukan Islam dengan mengirimkan surat kepada Nabi saw. yang berisikan pernyataan “Sungguh kami tidak akan keluar dari negeri kami, silahkan anda melakukan apa yang dipandang baik.”

Rasulullah saw. berangkat membawa pasukannya menuju perkampungan Bani Nadhir, kedatangannya disambut dengan lemparan batu dan anak panah. Dalam pada itu, bantuan perlengkapan senjata yang dijanjikan Abdullah bin Ubay kepada mereka ternyata tak kunjung tiba, hal mana membuat mereka tidak mampu melawan tentara Islam. Akhirnya tak ada pilihan lain kecuali menyerah. Perlucutan senjata terjadi dengan syarat-syarat:

1. Mereka harus meninggalkan negeri itu, tanpa membawa perlengkapan-perlengkapan perang.
2. Mereka dibolehkan membawa seluruh persediaan sandang dan pangan.
3. Pihak Islam menjamin tidak mengganggu pelaksanaan pengunduran diri mereka dari wilayah itu.

Sebelum menarik diri, orang-orang Yahudi terlebih dahulu merusak bangunan-bangunan dan rumah-rumahnya, agar tidak dapat dimanfaatkan oleh kaum Muslimin. Sebagian mereka mengungsi di Khaibar, sebuah kota kecil yang terletak 100 mil dari Madinah dan sebagian lainnya mengungsi di wilayah Jursy di sebelah selatan Syam (Syiria). Hanya dua orang saja di antara mereka yang masuk Islam.

Pada waktu perang Bani Nadhir ini, turunlah kepada Nabi Surat Al-Hasyr, dimana salah satu ayatnya berbunyi:

“Dialah yang mengeluarkan orang-orang kafir di antara ahli kitab dari kampung-kampung mereka, pada saat pengusiran yang pertama kali. Kamu tiada menyangka mereka akan keluar dan mereka pun yakin, benteng-benteng mereka akan dapat mempertahankan mereka dari siksaan Allah, maka Allah mendatangkan kepada mereka hukuman dari arah yang tidak mereka sangka-sangka. Dan Allah mencampakkan ketakutan ke dalam hati mereka, mereka memusnahkan rumah-rumah mereka dengan tangan mereka sendiri dan tangan orang-orang yang beriman. Maka ambillah (kejadian itu) untuk menjadi pelajaran, hai orang-orang yang mempunyai pandangan. Dan jika tidak karena Allah telah menetapkan pengusiran terhadap mereka, benar-benan Allah mengazab mereka di dunia, Dan bagi mereka di akhirat ada azab neraka.Yang demikian itu adalah karena sesungguhnya mereka menentang Allah dan Rasul-Nya, siapa saja menentang Allah, maka sesungguhnya Allah sangat keras hukuman-Nya.” (QS. Al-Hasyr: 2-4)

4. Perang Ahzab

Peperangan ini lebih dikenal dengan nama Perang Khandaq. Terjadi pada bulan Syawal tahun 5 Hijriah. Mulanya ialah setelah Bani Nadhir diusir datanglah pemimpin-pemimpinnya ke Makkah untuk mengajak orang-orang Quraisy memerangi Rasulullah bersama-sama. Keinginan ini disambut baik. Selanjutnya mereka datang ke Ghathafan (nama daerah) untuk beraliansi dengan masyarakat di daerah itu. Maksud ini ternyata disambut baik pula oleh Bani Fazzarah, Bani Murrah, dan Bani Asyja. Setelah siap berangkatlah mereka menuju Madinah.

Menghadapi ancaman ini segeralah Rasulullah bermusyawarah dengan sahabat-sahabatnya guna memutuskan langkah-langkah yang perlu diambil. Salman mengusulkan agar kaum Muslimin mengambil taktik bertahan dengan menggali parit-parit di sekeliling Madinah. Pendapat itu disepakati untuk segera dilaksanakan. Betapa terkejutnya musuh dan sekutu-sekutunya melihat parit-parit pertahanan yang belum pernah dikenal dalam sejarah Arab.

Pihak musuh berkekuatan 10.000 prajurit, Sedangkan kaum Muslimin berkekuatan 3.000 prajurit.

Dalam pada itu ada seorang pemimpin Yahudi yang bernama Huyyai bin Akhtab berusaha membujuk Kaab bin Asad, pimpinan Yahudi Quraizah, agar membatalkan secara sepihak perjanjian damai yang telah dibuatnya dengan kaum Muslimin. Tentu saja ajakan ini diterimanya, bersama rakyatnya menyatakan bergabung.

Pada waktu itu Nabi merasa khawatir kalau-kalau tentara Islam tidak mampu melawan musuh yang semakin banyak jumlahnya, sehingga Nabi berpikir ingin membujuk orang-orang Yahudi Quraizah agar memisahkan diri dan tidak memerangi tentara Islam dengan jaminan, kepada mereka akan diberikan sepertiga hasil bumi Madinah.

Akan tetapi kaum Anshar tidak setuju memberikan tebusan apapun kepada mereka yang justru telah membatalkan janji seenaknya. Dengan demikian berkecamuklah perang melawan tentara-tentara berkuda yang mencoba menyeberang parit-parit sempit di beberapa penjuru, yang berakhir dengan kegagalan pihak musuh.

Di tengah-tengah kecamuk perang datanglah seorang bernama Nuaim bin Mas’ud menghadap Nabi menyatakan masuk Islam. Katanya, keislamannya itu tidak diketahui oleh kawan-kawannya, padahal Nabi sendiri tahu dia orang yang dipercaya oleh Bani Quraizah. Perintahkan kepadaku apa yang engkau kehendaki, katanya kepada Nabi. “Pada saat ini engkau tiada berarti bagi kami dan sangat lemah. Pergilah dari sini. Bukankah perang adalah tipu daya,” jawab Nabi.

Setelah itu Naim melakukan kasak-kusuk untuk memecah belah tentara-tentara Quraisy dengan sekutu-sekutunya di satu pihak, dan orang Bani Quraizah di pihak lain, sehingga masing-masing saling meragukan i’tikad baiknya. Dalam kaadaan demikian bertiuplah angin topan yang sangat dingin menghantam dan menyapu bersih kemah-kemah tentara Quraisy dan sekutunya. Rasa takut pun mulai menghantui masing-masing orang dan pada malam harinya seluruh tentara yang mengepung Madinah terpaksa angkat kaki.

Berkenaan dengan peperangan ini turun ayat: “Wahai umat yang beriman, ingatlah akan nikmat Allah yang dikaruniakan kepada kamu, ketika datang kepadamu tentara-tentara, lalu Kami kirimkan kepada mereka angin topan dan tentara-tentara yang tidak terlihat oleh kamu. Dan Allah Maha Melihat apa-apa yang kamu kerjakan. Yaitu ketika mereka datang kepada kamu dari atas dan dari bawah, dan tidak tetap lagi penglihatan rnereka. Dan hatinya menyesakkan naik sampai ke tenggorokan dan menyangka Allah dengan bermacam-macam persangkaan. Di situlah orang-orang Mukmin diuji dan digoncangkan hatinya segoncang-goncangnya.” (QS. Al-Ahzab: 9-11)

Ayat-ayat berikutnya menggambarkan, bagaimana tingkah laku orang-orang munafik dalam menghadapi peperangan itu. Kemudian diiringi dengan gambaran tingkah laku orang-orang yang beriman. Firman Allah swt.:

“Dan tatkala orang-orang Mukmin melihat golongan-golongan yang bersekutu itu, mereka berkata: Inilah yang dijanjikan Allah dan Rasul-Nya Rasulullah memerintahkan sejumlah sahabatnya kepada kita dan benarlah Allah dan janji-Nya. Dan yang demikian itu tidaklah menambah kepada mereka, kecuali keimanan dan keislaman. Di antara orang-orang Mukmin itu ada yang menetapi apa yang telah mereka janjikan kepada Allah. Maka di antara meneka ada yang gugur dan di antaranya ada yang rnenunggu-nunggu. Dan sedikit pun mereka tidak mengubah janjinya. Supaya Allah memberikan balasan kepada orang-orang yang benar, karena kebenarannya, dan menyiksa orang yang munafik jika dikehendaki-Nya, atau menerima taubat mereka. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. Dan Allah menghalau orang-orang kafir itu dalam keadaan penuh kemurkaan, mereka tidak memperoleh keuntungan apa pun. Dan Allah menghindarkan orang-orang Mukmin dan peperangan. Dan adalah Allah Maha Kuat lagi Maha Perkasa.” (QS. Al-Ahzab: 22-25)

5. Perang Bani Quraizah

Perang ini juga terjadi pada tahun 5 Hijriah, setelah Perang Ahzab. Melihat tingkah laku orang-orang Yahudi Bani Quraizah yang telah menimbulkan bahaya laten bagi umat Islam, dipandang perlu adanya usaha-usaha preventif. Orang-orang Yahudi itu telah mencoba membatalkan perjanjian perdamaian yang mereka sepakati bersama dengan Nabi, telah mengadu domba antara kaum Muslimin dengan kaum kafir Quraisy. Dan pada tahun 5 Hijriah telah pula bersekutu dengan orang-orang Yahudi lainnya beserta dengan orang-orang Musyrikin Makkah untuk memerangi umat Islam. Oleh karena itu Nabi saw. berpikir untuk memberi pelajaran buat mereka, yaitu mengusirnya dari wilayah Madinah, agar tidak lagi melakukan keonaran-keonaran yang bisa membahayakan pusat dakwah (Madinah).

Menurut suatu riwayat yang diperkenalkan oleh Imam Bukhari, Aisyah menceritakan, “Sewaktu Perang Ahzab (Khandaq) selesai, pulanglah Nabi ke rumah dan beliau terus menggantungkan senjatanya, lalu mandi. Pada waktu itu Jibril datang kepada beliau seraya mengatakan: Sudah kau letakkankah senjatamu? Demi Allah, aku belum lagi rneletakkannya. Di mana lagi kita akan benperang? tanya Nabi saw. Di sana, jawab Jibril sambil menunjuk ke daerah yang didiami oleh Bani Quraizah. Kemudian Nabi pun keluar kembali mengumpulkan tentara-tentaranya.”

Kepada pasukannya, Nabi memerintahkan untuk segera berangkat dan agar semua orang bisa mendapatkan waktu shalat Ashar di perkampungan Bani Quraizah. Mereka diperintahkan untuk melaksanakan shalat Ashar di sana. Mereka segera berangkat dengan kekuatan 3.000 orang tentara dan bendera Islam di pegang Saidina Ali r.a. Sesampainya di wilayah perkampungan itu, Ali r.a. dengan sigapnya segera mengintai musuh yang bertahan di dalam benteng-bentengnya. Ketika itulah beliau mendengar onang-orang Yahudi mengutuk Nabi dan isteri-isterinya, dengan kata-kata yang kotor. Hal ini dilaporkan Ali kepada Nabi dan minta agar Nabi saw. tidak mendekati benteng-benteng tersebut.

“Kalau mereka berada jauh dariku, memanglah demikian perilakunya, karena mereka memang berakhlak munafik dan suka berolok-olok,” ujar Nabi saw. lalu mendekati benteng mereka. Begitu melihat Nabi, berhentilah mereka mengolok-olok dan mengatakan kata-kata tak senonoh tadi.

Nabi memerintahkan pasukannya agar mengepung perkampungan Yahudi itu secara ketat, hingga mereka keluar untuk berunding. Setelah dua puluh lima hari terkepung, menyerahlah mereka. Penyerahan ini disampaikan kepada Rasulullah oleh Saad bin Muaz, seorang pemimpin kabilah Aus yang bersekutu dengan Bani Quraizah. Ia menyatakan menyerah tanpa syarat dan akan pergi dari situ. Bila orang-orang Yahudi bani Quraizah mencoba memerangi umat Islam, maka Saad mempersiapkan untuk menghantamnya habis-habisan. Penyerahan ini diterima oleh Nabi dengan lega, karena dengan demikian berarti berakhirnya gangguan dan perlawanan kaum Yahudi di sekitar wilayah Madinah.

Dalam peperangan Bani Quraizah ini turun ayat-ayat yang menerangkan, bagaimana orang Yahudi telah mengingkari janji-janji yang telah dibuatnya. Ayat-ayat dimaksud antara lain:

“Dan ingatlah, ketika segolongan di antara mereka berkata: Hai penduduk Yatsrib (Madinah), tidak ada tempat bagi kamu, maka kembalilah kamu. Dan sebagian dari mereka minta izin kepada Nabi untuk kembali pulang dengan berkata: Sesungguhnya rumah-numah kami terbuka, tidak ada yang menjaganya, padahal rumah-rumah itu sekali-kali tidaklah terbuka. Mereka tidak lain hanyalah hendak lari. Kalau Yatsrib (Madinah) diserang dari segala penjuru, kemudian diminta kepada mereka supaya murtad, niscaya meneka mengerjakannya. Dan mereka tiada akan berhenti untuk muntad itu, melainkan dalam waktu yang singkat. Dan sesungguhnya mereka itu telah berjanji kepada Allah dahulu: Mereka tidak akan berbalik mundur. Dan penjanjian dengan Allah itu akan dimintakan pertanggungjawaban. Katakanlah: Lari itu sekali-kali tidaklah benguna bagimu, jika kamu melarikan diri dari kematian atau pembunuhan. Dan kalau kamu terhindar dari kematian itu, kamu juga tidak akan mengecap kesenangan kecuali sebentar saja.” (QS. Al-Ahzab:13-16)

“Dan Dia menurunkan orang-orang Ahli Kitab yang membantu golongan-golongan yang bersekutu dari benteng-benteng mereka. Dan Dia memasukkan rasa takut ke dalam hati mereka. Sebagian mereka kamu bunuh dan sebagian yang lain kamu tawan. Dan Dia mewariskan kepada kamu tanah-tanah, rumah-rumah, dan harta benda mereka dan tanah yang belum kamu injak. Dan Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu.” (QS. Al-Ahzab: 26-27)

Peperangan di Masa Rasulullah (bagian 4)


6. Perang Hudaibiyah

Perang ini terjadi pada bulan Zulqa’idah tahun 6 Hijriah. Mulanya ialah Rasulullah saw. bermimpi memasuki Baitullah bersama-sama dengan sahabat-sahabatnya dalam keadaan aman. Mereka mencukur rambut dan berpakaian ihram.

Atas dasar wahyu ini Rasulullah memerintahkan umat Islam agar bersiap-siap untuk pergi ke Makkah dalam rangka melakukan umrah, bukan untuk menantang kaum Qurasiy atau untuk benperang. Kaum Mushmin yang terdiri dari Muhajirin dan Anshar berangkat menuju Makkah dalam suasana riang gembira, karena kerinduan akan Baitullah yang telah enam tahun tidak mereka kunjungi, akan terpenuhi. Kaum Muslimin yang berjumlah 1.500 orang itu berangkat tanpa membawa persiapan untuk perang, kecuali perbekalan dan senjata yang biasa di bawa kafilah dagang untuk melindungi diri dari perampok.

Sesampainya rombongan Nabi di Asfan, datanglah seseorang yang mengabarkan bahwa orang-orang Quraisy sudah mengetahui adanya rombongan ini. Mereka sudah bertolak dari Makkah dalam keadaan siap perang, dengan tekad tidak akan mengizinkan Nabi saw. dan kaum Muslimin memasuki Makkah.

Mendengar laporan itu, Nabi bersabda, “Celaka benar kaum Quraisy, mereka mau perang melulu. Apa yang akan diperolehnya jika berhasil memisahkan aku dengan seluruh bangsa Arab. Jika mereka itu dapat membunuhku, itulah yang diinginkan mereka (Quraisy). Dan jika aku sukses dengan ajakan ini, maka mereka akan masuk Islam dengan cara baik-baik. Dan jika mereka tidak melakukan itu, maka silakan memerangiku dengan segala kemampuan yang ada. Bagaimana sebenarnya perkiraan mereka itu? Demi Allah, aku akan terus memperjuangkan apa yang diamanatkan Allah kepadaku hingga ia tegak atau pembela-pembelanya ini habis.”

Nabi kemudian meneruskan perjalanan hingga sampai di Hudaibiyah, suatu tempat di dekat kota Makkah. Di sini beliau ditemui oleh beberapa orang dan kabilah Khuza’ah yang menanyakan perihal kedatangannya. “Kami datang ke Makkah tidak lain untuk mengunjungi ka’bah dan melakukan umrah,” jawab Nabi. Utusan-utusan itu pun segera kembali, lalu mengatakan kepada rombongannya “Tampaknya kita terlalu gegabah terhadap Muhammad. Kedatangannya tidak untuk perang, melainkan hanya untuk menziarahi Baitullah. Demi Allah, dia (Muhammad) tidak boleh memasuki Baitullah di hadapan kita-kita ini buat selamanya dan seluruh orang Arab ini tidak usah banyak bicara tentang itu,” komentar mereka.

Kemudian kaum Quraisy mengutus Urwah bin Ma’sud As-Tsaqafi untuk menyampaikan sikap kaum Quraisy itu kepada Nabi dan umat Islam. Sesudah terjadi tawar menawar dengan sahabat-sahabat Nabi, kembalilah Urwah kepada kawan-kawannya guna menyampaikan hasil perundingan itu, yang pada pokoknya ingin berdamai. Tetapi keinginan damai itu ditolak, sehingga Nabi saw. mengutus Utsman bin Affan untuk sekali lagi menyatakan maksud damainya.

Kembalinya Utsman dari perundingan itu agak terlambat. Hal ini menimbulkan dugaan berat bahwa Utsman telah dibunuh, sehingga Nabi berpendapat tidak ada jalan yang lebih baik kecuali memerangi kaum Musyrikin Quraisy. Beliau menyerukan agar seluruh anggota rombongan berjanji setia untuk berperang pada saat itu juga. Semboyannya ialah perdamaian atau mati syahid di jalan Allah, dengan senjata seadanya.

Tekad yang sangat bulat mengarungi peperangan ini rupanya membuat orang-orang Quraisy menjatuhkan pilihannya untuk Damai. Inilah yang lebih baik, tetapi dengan syarat-syarat sebagai berikut:

Rasulullah saw. beserta kaum Muslimin bersedia menunda maksudnya untuk menziarahi Baitullah pada tahun itu.
Umrah baru dapat dilaksanakan tahun depan, dengan ketentuan agar masing-masing orang hanya membawa senjata yang biasa dibawa seorang musafir, yaitu sebatang tombak dan sebilah pedang yang disarungkan.
Syarat-syarat perdamaian itu disampaikan melalui utusan yang bernama Suhail bin Amar yang dipercayakan penuh untuk mengambil keputusan-keputusan sesuai sikap Quraisy. Kali ini kedua belah pihak berhasil mencapai kesepakatan untuk perdamaian, dengan syarat-syarat dan isinya:

Kedua belah pihak menyetujui perlucutan senjata untuk masa sepuluh tahun.
Kalau kaum Muslimin datang ke Makkah, maka pihak Quraisy tidak berkewajiban mengembalikan orang itu ke Madinah.
Jika penduduk Makkah datang kepada Rasulullah di Madinah, maka kaum Muslimin harus mengembalikan orang tersebut ke Makkah.
Nabi sudah dapat menyetujui syarat-syarat dan ketentuan itu, tetapi para sahabat keberatan, bahkan mereka sempat bertengkar dengan Nabi. Di antara sahabat yang tidak bisa menerima itu terdapat Umar bin Khattab r.a. Kemudian Rasulullah saw. bersabda, “Aku ini adalah Rasulullah, dan tentu Dia tidak akan membinasakanku.”

Selanjutnya Nabi memerintahkan agar semua anggota rombongan melakukan tahallul. Akan tetapi mereka tidak melakukannya, karena masih kesal dan sangat keberatan dengan bunyi perjanjian yang sudah ditandatangani oleh Nabi. Mereka kecewa atas kegagalan ziarah ke Baitulah. Oleh karena itu Nabi mengambil inisiatif melakukan tahallul terlebih dahulu, dan syukurlah seluruh jamaah mengikutinya. Memang agak sulit para sahabat menerima isi perjanjian tersebut namun dikemudian hari ternyata sangat menguntungkan dakwah mereka sendiri.

Peristiwa ini disebut oleh Al-Qur’an dengan istilah Fathun Mubiinun (kemenangan nyata), sebagaimana termaktub dalam surat Al-Fath ayat 1 sampai 3.

“Sesungguhnya Kami telah memenangkan engkau dengan kemenangan yang nyata. Supaya Allah memberi ampunan kepadamu atas dosa yang telah lalu dan yang akan datang, serta menyempurnakan nikmatnya atasmu dan memimpin kamu ke jalan yang lurus. Dan supaya Allah menolong dengan pentolongan yang kokoh.” (QS. Al-Fath 1-3)

Peristiwa ba’iat diungkapkan oleh Al-Qur’an, “Sesungguhnya orang-orang yang berjanji setia kepadamu itu tidak lain mereka telah berjanji kepada Allah. Tangan Allah di atas tangan mereka, maka siapa saja yang melanggar janjinya, niscaya akibatnya akan menimpa dirinya sendiri. Dan siapa saja yang menepati janjinya kapada Allah, maka Allah akan memberikan kepadanya pahala yang besar. “(QS. Al-Fath: 10)

“Sesungguhnya Allah telah ridha terhadap orang-orang Mukmin, ketika mereka telah berjanji setia kepadamu di bawah pohon, maka Allah mengetahui apa yang ada dalam hati mereka, lalu menurunkan ketenangan atasnya dan memberi balasan kepada mereka dengan kemenangan yang dekat.” (QS. Al-Fath: 18)

Tentang mimpi Nabi saw. yang merupakan asal muasal peristiwa Hudaibiyah ini, Al-Qur’an menyebutkan, “Sesungguhnya Allah akan membuktikan kepada Rasul-Nya tentang kebenaran mimpinya dengan sebenarnya, sesungguhnya kamu pasti akan memasuki Masjidil Haram, insya Allah, dalam keadaan aman, mencukur rambut dan mengguntingnya, sedang kamu tidak merasa takut. Allah mengetahui apa yang tiada kamu ketahui dan Dia memberi sebelum itu kemenangan yang dekat.” (QS. Al-Fatah: 27)

“Dan Dia-lah yang mengutus Rasul-Nya dengan membawa petunjuk dan agama yang haq, untuk dimenangkan atas semua agama. Dan cukuplah Allah menjadi saksi.” (QS. Al-Fatah: 28)

7. Perang Khaibar

Perang ini terjadi di penghujung bulan Muharram tahun 7 Hijriah. Khaibar adalah nama daerah yang dihuni oleh orang-orang Yahudi, terletak 100 mil dari Madinah, di belahan utara ke arah Syam (Syiria).

Setelah mengadakan perdamaian dengan pihak Quraisy, melalui Perjanjian Hudaibiyah, Rasulullah saw. memfokuskan perhatian untuk mengatasi kemelut yang ditimbulkan oleh orang-orang Yahudi yang bersekutu, selain orang-orang Yahudi yang tinggal di seputar Madinah.

Kemelut dengan orang-orang Yahudi yang disebut terakhir ini untuk sementara telah dianggap beres. Orang Yahudi Khaibar cukup berbahaya. Sebab, mereka punya tentara sebanyak 10.000 orang, wilayah mereka berbenteng sangat kuat, memiliki perlengkapan senjata yang cukup banyak, dan cerdik mengadu domba, menghasut dan kasak-kusuk.

Lambat atau cepat mereka pasti membahayakan kaum Muslimin. Oleh karena itu Nabi mempersiapkan pasukan yang akan berangkat ke Khaibar pada penghujung bulan Muharram tahun itu juga. Pasukan ini berkekuatan 1.600 orang. Hanya 200 orang saja yang mengendarai kuda.

Menjelang tiba di Khaibar, Nabi saw. memerintahkan agar pasukan berhenti. Dan beliau sendiri berdoa kepada Allah swt.

“Wahai Tuhan, Tuhan langit dan segala yang ada di bawahnya, Tuhan tujuh lapis bumi dan segala yang ada di atasnya, Tuhan setan-setan dan segala yang menyesatkan, dan Tuhan angin dan segala yang diterbangkannya, sesungguhnya kami mohon kepada-Mu kebaikan negeri ini, kebaikan penduduk dan segala yang ada di dalamnya. Kami berlindung kepada-Mu dan kejahatannya, kejahatan penduduk dan kejahatan apa yang ada di dalamnya.”

Setibanya di sana Nabi memilih suatu tempat di dekat benteng Natha, sebagai tempat mengkonsentrasikan kekuatan tentara Islam. Akan tetapi seorang sahabat Habbab bin Munzir mengusulkan agar Nabi memindahkan konsentrasi itu ke tempat lain saja, karena di benteng Natha itulah musuh mengkonsentrasikan kekuatan tentaranya. Mereka yang ditempatkan di benteng itu terkenal sebagai tentara-tentara jago tembak (pemanah-pemanah mahir).

Mereka juga dapat secepat kilat membombandir pasukan Islam, karena mereka bisa mengetahui posisi pasukan Nabi melalui tempat-tempat pengintaian yang ada di atas pohon-pohon korma di sekeliling benteng. Nabi segera memindahkan konsentrasi pasukan ke sektor yang lebih aman. Peperangan pun pecah. Satu demi satu benteng Yahudi dapat di kuasai, kecuali dua benteng terakhir. Di sini tentara-tentara Yahudi bertahan dengan gigih sekali sehingga banyak korban yang jatuh, baik di pihak Islam apalagi di pihak mereka.

Oleh karena itu, demi membatasi korban, pihak Yahudi mengusulkan untuk mengadakan gencatan senjata. Dalam perundingan ini penduduk Khaibar menyatakan:

Menghentikan perlawanan, demi membatasi bertambahnya korban.
Mereka bersedia keluar dari Khaibar bersama-sama dengan keluarganya masing-masing.
Penduduk Khaibar akan mengungsikan diri dengan hanya membawa pakaian sehari-hari.
Di dalam benteng-benteng yang telah dikosongkan itu kaum Muslimin memperoleh senjata yang banyak dan menjumpai ribuan kitab Taurat. Tetapi kemudian mereka minta supaya kaum Muslimin mengembalikan kitab-kitab tersebut. Tuntutan ini dikabulkan oleh Nabi Muhammad saw.

Perang Khaibar menelan korban 93 orang dari pihak Yahudi dan 15 orang dari pihak Islam.

8. Perang Mu’tah

Perang ini berlangsung pada bulan Jumadil Awal tahun 8 Hijriah. Mu’tah adalah sebuah desa dekat Syam yang sekarang bernama Kurk, terletak di sebelah Tenggara Laut Mati.

Mulanya Rasulullah mengutus Harits bin Umair Al-Azli, untuk menyampaikan surat kepada Gubenur Bashra, Hanits bin Abi Syamr Al-Ghassani yang diangkat oleh kaisar Romawi. Surat Nabi itu, sebagaimana surat-surat beliau lainnya, berisi ajakan masuk Islam. Sewaktu Harits bin Umair sampai di Mu’tah, ia ditangkap oleh seorang tokoh pemerintah yang pro Romawi. Penguasa itu kemudian bertanya apakah dia (Harits) diutus oleh Muhammad dan kemana tujuannya? Walaupun sudah dijelaskan oleh Harits, namun penguasa itu tetap memutuskan untuk menangkapnya. Begitulah Harits bin Umair ditangkap dan terus dibunuh.

Sungguh keterlaluan perbuatan mereka itu. Dan baru kali ini seorang utusan Nabi mengalami nasib yang begitu mengenaskan, sehingga Nabi saw. memutuskan untuk menggempur mereka. Pasukan yang berjumlah 3.000 orang telah siap dengan komando tertinggi dipercayakan kepada Zaid bin Haritsah. Bila gugur, maka Zaid digantikan oleh Ja’far bin Abi Thalib. Dan jika Ja’far gugur digantikan oleh Abdullah bin Rawahah.

Kepada komandan dan wakil-wakil komandan itu Rasulullah menginstruksikan agar terlebih dahulu meminta pertanggungjawaban pemimpin Mu’tah yang telah membunuh Harits bin Umair, untuk kemudian menyerunya memeluk agama Islam. Jika mereka enggan, perangilah dia demi agama Allah. Kemudian Nabi saw. mewasiatkan agar tentara Islam tidak melakukan kejahatan, tidak merampas atau mencuri harta rakyat, tidak membunuh anak-anak, kaum wanita, dan orang-orang yang sudah tua bangka, tidak merusak bangunan-bangunan masyarakat, tidak merusak tanam-tanaman, dan tidak membunuh orang yang tidak melawan.

Setelah dilepas oleh Rasulullah saw., berangkatlah pasukan besar itu menuju Desa Maan. Di sana mereka mendapat kabar, angkatan bersenjata Heraklius (Kaisar Romawi) sudah siap menyambut mereka dengan jumlah yang begitu besar, terdiri dari angkatan bersenjata Romawi dan orang-orang Arab Nasrani. Dikabarkan pula, pasukan musuh itu telah sampai di Desa Balqa’ di Damaskus.

Setelah bermusyawarah, diperoleh kesepakatan pasukan Islam itu perlu meminta bantuan kepada Rasulullah saw. atau instruksi-instruksi lain yang lebih mungkin dilaksanakan. Tetapi Abdulllah bin Rawahah berpendirian lain. “Demi Allah, kalian tidak berani perang, padahal kalian ingin syahid. Kita berperang bukan mengandalkan banyaknya jumlah dan hebatnya kekuatan. Sebaliknya kita ini berperang karena agama Allah yang telah menempatkan pada martabat mulia. Kini kita tidak punya pilihan selain menang atau mati syahid,” katanya memberikan semangat.

Peperangan dimulai. Zaid bin Hanitsah tewas. Kemudian bendera dipegang oleh Ja’far bin Abi Thalib yang tidak dapat turun dan kudanya. Tangan kanan dan kirinya putus terkena pedang musuh dan bendera terpaksa dipeluknya, hingga beliau tewas pula akibat luka-luka yang tidak kurang dari 70 lubang.

Bendera seterusnya dipegang oleh Abdullah bin Rawahah. Tetapi kemudian beliau pun tewas juga. Karena ketiga orang komandan telah tewas, maka pimpinan dipercayakan kepada Khalid bin Walid yang baru pertama kali berperang di bawah bendera Islam. Diaturnyalah siasat sedemikian rupa hingga berhasil melepaskan pasukan Islam dari bahaya maut untuk seterusnya kembali bersama pasukan ke Madinah.

Perang Mu’tah ini merupakan perang pertama kaum Muslimin di luar semenanjung jazirah Arab. Sekalipun Nabi saw. tidak turut serta, namun perang ini diklasifikasikan sebagai ghazwah, mengingat jumlah tentara Islam yang dikerahkan mencapai 3.000 orang.

Selain itu, Khalid bin Walid yang telah memimpim pasukan Islam dalam perang ini dengan demikian kehebatannya, diberi gelar oleh Rasulullah saw. dengan sebutan Syaifullah, “Si Pedang Allah”.